Tokoh Sentot Alibasyah

SENTOT PRAWIRODIRJO Alias : ‘Ali Basyah Lahir : Jawa Tengah Orangtua : Raden Ronggo Prawirodirjo III (Ipar Sultan Hamengku Buwono IV) Menggantikan: Sayyid Amir Hasan Daerah da’wah: Pulau Jawa dan Sumatera Selatan  Wafat : 1885 M  Makam : Bajak, Teluk Segara, Bengkulu, Sumatera Selatan.
(1807 - Bengkulu, 17 April 1855) adalah seorang panglima perang pada masa Perang Diponegoro. Ia adalah putra dari Ronggo Prawirodirjo, ipar Sultan Hamengku Buwono IV. Ayahnya dianggap pemberontak karena melawan Belanda tapi berhasil dibunuh oleh Daendels. Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa dendam kepada Belanda sehingga akhirnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Sentot Prawirodirdjo akhirnya berhasil dibujuk Belanda untuk meletakkan senjata pada tanggal 17 October 1829 dan dikirim ke Sumatera Barat untuk melawan pemberontakan para ulama dalam Perang Padri kemudian wafat dalam usia 48 tahun. Kontroversi Petilasan / Makam Kembar Raden Ali Basah Sentot Prawirodirdjo Keramat Sewuni "Magelang" Dikisahkan  Ketika Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830 di Magelang, para manggala prajurit P. Diponegoro banyak yang tidak mau takluk dan pasrah bongkokan kepada serdadu penjajah Belanda. Mereka lebih baik mundur dan menyingkir dari tempat perdamaian daripada mati konyol melawan serdadu Belanda. Ada yang menyingkir ke timur menyeberang sungai Elo, seperti Kyai Candrabumi dan perajuritnya. Di daerah Magelang juga banyak peninggalan dan petilasan terkait dengan Perang Diponegoro. Ada Langgar Agung Pangeran Diponegoro di desa Menoreh, Salaman, Gardu Benteng Stelsel di desa Ringinputih, Watu Gudig di desa Sambeng, Sendang Suruh di Giritengah, Bedug Pangeran Diponegoro di Wanurejo di wilayah Borobudur. 


Banyak juga mantan manggala yudha lasykar Pangeran Diponegoro itu berada di daerah ini sampai wafatnya. Makam Kyai Candrabumi ada di dusun Gupitan desa Podosoko Kecamatan Candimulyo, makam Danurejo di desa Danurejo Mertoyudan.  Sedangkan sebuah “makam” yang dipercaya sebagian warga setempat sebagai makam Raden Ali Basah Senthot Prawirodirdjo berada di Sewuni dusun Kayuares Desa Banyuwangi Kecamatan Bandongan.  Kalau makam Kyai Candrabumi sudah banyak yang tahu dan ramai peziarah pada bulan Ruwah dengan ‘nyadran’, tetapi untuk “makam” R. Ali Basah Senthot Prawirodirdjo belum banyak yang tahu. Makam ini tidak jauh dari gedung eks karesidenan Kedu di Magelang di mana dulu Pangeran Diponegoro ditangkap serdadu Penjajah Belanda. Dari gedung bersejarah tersebut “makam” ini kira-kira hanya 3 kilometer ke arah barat. “Makam” R. Ali Basah Sentot Prawirodirdjo terletak di bawah kerindangan sebuah pohon beringin besar dan merupakan makam tunggal. Di cungkupnya tertulis “Makam Keramat Raden Basah”, dan di nisan makam ada tulisan aksara Jawa nama “Ali Basah Senthot Prawirodirdjo”.  Di tembok cungkup sisi utara dipajang gambar almarhum. Cungkup ini dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Suasana di sekitar makam keramat ini terasa ‘angker’ dan ‘berwibawa’. Di dekat makam ada sebuah pohon kamboja tua yang dianggap wingit. Tidak jauh dari makam ini ada sebuah mata air yang dianggap wingit oleh masyarakat setempat. Oleh warga setempat makam Raden Alibasyah Sentot Prawirodirdjo lebih dikenal dengan sebutan “Makam mBah Basah”. Asal Mula ditemukannya “makam”, Menurut Supana, 59 tahun, warga dusun Kayuares, makam R. Ali Basah Sentot Prawirodirdjo “ditemukan” pada tahun 1968. Kisah penemuannya, ada seorang warga desa setempat bernama pak Wiryodihardjo. Karena dia kalah judi tidak berani pulang ke rumahnya di dusun Kayuares. Dia memilih tidur di bawah pohon beringin besar di pinggir dusun yang ketika itu keadaan tempat ini sangat sepi dan jauh dari rumah penduduk. Karena sangat lelahnya, di tempat ini dia bisa terlelap tidur dan bermimpi. Dalam mimpinya dia mendengar suara gaib, “Kowe aja susah. Balia menyang omahmu lan mertobata, kowe bakal luwih apik panguripane.” (Kamu jangan bersedih. Pulanglah ke rumahmu dan betobatlah, kamu akan menjadi lebih baik). Mengindahkan pesan suara gaib dalam mimpinya itu, dia berani pulang ke rumahnya. Dan sejak saat itu dia bisa menghilangkan kesukaan berjudi. Pada lain hari, ada salah seorang tetangganya yang masih keluarga pak Wiryo, -bernama pak Puri - kesurupan. Dalam kesurupannya itu dia berkata, “Aku gelem bali menyang papan dunungku angger ana sing ngetutake.” (Saya mau pulang ke tempatku,  asalkan ada yang mengikutiku). Kemudian para tetangga mengikuti perjalanan pak Puri yang kesurupan itu. Tingkah lakunya dalam perjalanan ke tempat asalnya tidaklah biasa. Karena pak Puri bisa berlari cepat dan melompat-lompat seperti layaknya orang menunggang kuda. Bahkan dia bisa melompati pagar tembok yang tinggi di pekarangan samping rumahnya. Ketika sampai di bawah pohon beringin besar di Sewuni dusun Kayuares, dia roboh dan berkata, “Ya ing kene iki papan panggonanku. Mangertia, yen jenengku Ali Basyah Sentot Prawirodirdjo.” (Ya di sinilah tempatku. Ketahuilah, kalau namaku Alibasyah Sentot Prawirodirdjo).  Tempat di mana dia roboh itu tidak lain adalah tempat di mana pak Wiryo pernah tidur dan menerima wangsit dalam mimpinya. Sejak saat itu pak Wiryo percaya kalau di tempat tersebut adalah makam seorang priyayi luhur, salah seorang manggala yudha prajurit Pangeran Diponegoro. Kemudian di tempat ini oleh pak Wiryo dibuat semacam tetenger berupa sebuah makam dengan cungkup kecil. Oleh sementara orang, “makam” ini dianggap keramat dan menjadi tempat sesirih dengan tirakat atau memanjatkan doa-doa di sini. Bermacam-macam maksud dan tujuan orang berziarah dan melakukan sesirih di makam ini. Menurut juru kunci makam, Sunarko Hadiwardoyo, 60 tahun, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunarko Birowo atau mBah Narko, kebanyakan orang-orang yang berziarah ke makam ini mempunyai masalah keluarga, terutama masalah ekonomi atau utang-piutang. Seperti halnya makam keramat lainnya, di makam R. Ali Basah Sentot Prawirodirdjo ini juga banyak peziarah yang datang dari luar daerah untuk nyekar dengan doa permohonan yang bermacam-macam. Tetapi bila ada peziarah yang permohonannya tidak baik, mesti akan celaka. Ketika ‘jaman judi buntutan’ dulu, pernah ada peziarah yang nyepi di sini untuk minta ‘nomer jitu’. Tetapi dia malah ‘dibuang’ atau dilemparkan ke luar cungkup oleh tenaga ghaib yang ada di makam ini. Ada salah seorang peziarah dari kota Magelang yang sudah terkabul permohonannya kepada Allah SWT dengan berdoa di makam ini. Dia adalah R. Soemardiyanto, yang pada hari Rabu Kliwon tanggal 16 Maret 1977 melakukan pemugaran cungkup makam tersebut. Namun, karena dimakan usia, cungkup yang sudah dibangun puluhan tahun yang lalu itu bagian atapnya banyak yang rusak. Gentengnya ada yang runtuh dan dindingnya tampak kumuh. Kini, bagian atap cungkup ini sudah diperbaiki. Juru kunci pertama makam ini adalah pak Wiryodihardjo. Sepeninggal pak Wiryo tahun 1981, tugas juru kunci dilanjutkan pak Muh Miri, pak Wandi, dan sekarang dipercayakan kepada pak Sunarko Birowo. Petilasan / Makam ‘imajiner’?  “Makam” R. Ali Basah Sentot Prawirodirdjo yang berada di Sewuni ini sampai kini masih menyimpan misteri. Karena sebenarnya, makam ini hanyalah sebuah petilasan.  Sampai saat ini masih ada beberapa pertanyaan dari sementara orang yang belum ada jawabannya, terkait dengan keberadaan makam ini. Apakah benar makam ini adalah makam R. Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, manggala yudha lasykar Pangeran Diponegoro yang terkenal dalam sejarah itu? Mengapa beliau dimakamkan di sini? Kapan dan siapa yang memakamkannya? Wafatnya Raden Basah di sini dibunuh serdadu Belanda atau wafat karena usia tua? Dan masih banyak pertanyaan yang terkait dengan perjuangan Raden Alibasyah Sentot Prawirodirdjo di daerah Magelang ketika itu. Disamping itu, sampai sekarang juga belum pernah ada kerabat trah R. Ali Basah Sentot Prawirodirdjo yang nglarah ke sini. Menurut sejarahnya, Raden Ali Basah Sentot Prawirodirdjo adalah putra Bupati Madiun ke III, R. Prawirodirdjo, yang setia menjadi perajurit Pangeran Diponegoro.  Sedangkan warga masyarakat di desa ini sepertinya kurang memberikan perhatian terhadap keberadaan makam ini. Bahkan dulu keberadaan makam ini ‘dimusuhi’ atau ditentang oleh sementara ulama di daerah ini. Karena dikhawatirkan menjadi tempat yang bisa menjurus ke kemusyrikan.   Ketika pak Wiryo masih hidup pada setiap bulan Ruwah diadakan nyadran dengan nyekar bersama di makam ini. Kini, acara nyadran di makam ini sudah tidak pernah diselenggarakan lagi.  Sekarang, kadangkala ada peziarah dari lain kota yang nyekar ke sini. Hanya sayang, tidak ada catatan ‘buku tamu’, sehingga siapa dan dari mana peziarah itu tidak diketahui. Makam Raden Alibasyah Sentot Prawirodirdjo berada di Bengkulu, Pangeran Diponegoro pada hari Minggu tanggal 25 Maret 1830, P. Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat yang licik oleh Jendral De Kock, yang semula mengajaknya berunding. Setelah ditangkap, P. Diponegoro beserta isteri dan putra-putranya dibawa ke Batavia pada tanggal 8 April 1830. Penjajah Belanda pada tanggal 30 April 1830 memutuskan untuk membuangnya ke Manado. Pada tanggal 4 Mei 1830 mereka diberangkatkan ke sana dan ditempatkan di Benteng Amsterdam. Dari Manado pada tanggal 12 Juni 1830 P. Diponegoro dipindahkan ke Makassar dan ditempatkan di Benteng Rotterdam, Ujung Pandang. P. Diponegoro berada dalam pengasingan selama 25 tahun. Tanggal 8 Januari 1855 P. Diponegoro wafat dan dimakamkan di luar benteng, di Kampung Melayu, bagian utara kota Ujung Pandang. Menurut catatan sejarah, sebelum Pangeran Diponegoro ditangkap penjajah Belanda, ada dua peristiwa yang sangat mempengaruhi kekuatan lasykar dalam perjuangan melawan penjajah kala itu. Peristiwa pertama, adalah tertangkapnya Kyai Modjo pada tanggal 12 Nopember 1828. Penangkapan Kyai Mojo ini memberikan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro. Sebaliknya, bagi penjajah Belanda peristiwa ini membuat sangat bersuka cita. Karena dengan demikian penyangga utama perjuangan Pangeran Diponegoro sudah runtuh. Tinggal dua tokoh yang merupakan manggala yudha andalan Pangeran Diponegoro yang harus dilumpuhkan yaitu panglima pemberani Raden Alibasyah Sentot Prawirodirdjo, yang kala itu berusia sekitar 20 tahun dan Pangeran Mangkubumi. Pemerintah Penjajah Belanda berusaha menghubungi Raden Alibasyah Sentot Prawirodirdjo dan membujuknya dengan memberikan janji-janji yang muluk-muluk agar dia mau menghentikan perlawanan terhadap serdadu penjajah Belanda.  Raden Sentot terpengaruh oleh bujuk-rayu penjajah Belanda dan pada tanggal 17 Oktober 1829 dia menghentikan perlawanan. Barangkali karena umurnya yang masih belia dan dendamnya sudah tersalurkan, ia akhirnya tertarik dengan imbalan materi dari penjajah Belanda, dan bersedia meletakkan senjata. Ini merupakan peristiwa kedua yang sangat menampar Pangeran Diponegoro.  Selanjutnya, Raden Alibasyah Sentot Prawirodirdjo dikirim ke Sumatra Barat sebagai tentara bayaran penjajah Belanda, dengan tugas memerangi saudara muslimnya sendiri dalam Perang Padri. Permintaan Raden Sentot untuk kembali ke Tanah Jawa setelah usai Perang Padri tidak dikabulkan oleh penjajah Belanda. Di Bengkulu Raden Alibasyah Sentot Prawirodirdjo menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun, dan dimakamkan di sana.


Sentot Alibasyah menghadap Perspektif


Sentot Alibasyah menghadap kesamping


Sentot Alibasyah menghadap kedepan

sumber terkait.

http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/03/sentot-prawirodirjo-ali-basyah.html

No comments:

Post a Comment

Police Story

Perampokan Bank S uatu pagi yang cerah dengan titik matahari yang sangat indah di ufuk timur bandung ini, terdengar suara yang mengg...