Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir dari doktrin Islam. Pencatat sastra Indonesia H.B. Jassin[76] dan penyair Arief Bagus Prasetyo,[77] adalah termasuk dari beberapa yang berpendapat bahwa Amir adalah seorang Muslim ortodoks murni, dan itu ditunjukkan dalam karyanya. Prasetyo berpendapat bahwa hal ini terlihat jelas dalam perkataan Amir tentang Tuhan, ia tidak memandang Tuhan sebagai sesamanya, sebuah tema yang ditemukan dalam karya penyair sufi seperti Hamzah Fansuri, tetapi sebagai tuan untuk hamba Amir.[77] Johns menulis bahwa, meskipun Amir bukanlah seorang mistik, Amir juga bukan seorang penulis renungan murni, namun mempromosikan suatu bentuk "Humanisme Islam".[78] Pengamat lain, seperti pakar sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw dan pakar sastra Indonesia Abdul Hadi WM berpendapat bahwa Amir dipengaruhi oleh Sufisme.[77] Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada, dari posisi yang sama, menunjuk ke contoh di mana Hamzah memperlakukan Tuhan sebagai kekasih sebagai indikasi pengaruh Sufi.[79] Pada akhirnya, penyair Chairil Anwar menulis bahwa Nyanyi Sunyi karya Amir bisa disebut "puisi terselubung" karena pembaca tidak dapat memahami karya Amir tanpa pengetahuan tentang sejarah Melayu dan Islam.[80]
Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya Amir dengan perspektif Kekristenan. Dalam menganalisa "Padamu Jua", kritikus Indonesia Bakri Siregar menunjukkan bahwa beberapa pengaruh dari Alkitab Kristen dapat ditemukan, menunjuk ke beberapa aspek dari puisi yang tampaknya mendukung pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan yang antropomorfik (tidak diperbolehkan dalam Islam ortodoks) dan pandangan tentang Tuhan yang cemburu. Dia menulis bahwa konsep tentang Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam Islam, tetapi dalam Alkitab, mengutip Keluaran 20:5 dan Keluaran 34:14.[81] Dalam puisi lain, "Permainanmu", Hamzah menggunakan kalimat "Kau keraskan kalbunya", Jassin menarik kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun dalam Kitab Keluaran.[e][82]
Jassin menulis bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada satu atau lebih wanita, dalam Buah Rindu disebut sebagai "Tedja" dan "Sendari-Dewi", Jassin beropini bahwa wanita (satu atau lebih) tak pernah disebutkan namanya karena cinta Amir pada mereka adalah kunci.[83] Husny menulis bahwa setidaknya sembilan karya di Buah rindu[f] terinspirasi oleh kerinduannya untuk Aja Bun, menggambarkan rasa kecewa setelah pertunangan mereka dibatalkan.[84] Mengenai dedikasi tiga-bagian dalam buku tersebut, "Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu / Kebawah kaki Sendari-Dewi",[g][85] Mihardja menulis bahwa Soendari telah dikenali setiap teman sekelas Amir, ia menganggap Soendari sebagai inspirasi Amir, layaknya "Laura terhadap Petrarch, Mathilde terhadap Jacques Perk".[86] Kritikus Zuber Usman juga menemukan pengaruh Soendaripada Nyanyi Sunyi, berpendapat bahwa perpisahan Amir dari Soendari membawa Amir lebih dekat dengan Tuhan,[87] sebuah pendapat yang diulang oleh Dini.[88] Burton Raffel menghubungkan sebuah kuplet di akhir buku, membaca "Sunting Sanggul melayah rendah / sekaki sajak seni sedih"[89] ("sebuah bunga mengambang di simpul rambut longgar / melahirkan puisi sedih saya") sebagai panggilan untuk sebuah cinta terlarang.[90] Dini berpendapat bahwa cinta Amir pada Soendari menyebabkan penggunaan istilah Jawa yang sering dalam tulisan Amir.[43]
Karya sastra[sunting | sunting sumber]
Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas potongan puisi prosa, dua belas artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku;[34]Johns menulis bahwa terjemahan ini umumnya mencerminkan tema penting dalam karya-karya aslinya.[91]
Sebagian besar tulisan Amir diterbitkan dalam Poedjangga Baroe, meskipun beberapa karya sebelumnya diterbitkan dalam Timboel dan Pandji Poestaka.[34] Tidak ada karya kreatif-nya yang bertanggal, dan tidak ada konsensus mengenai kapan setiap individual puisi ditulis.[92] Meskipun demikian, terdapat konsensus umum bahwa karya-karya yang termasuk dalam Nyanyi Sunyi ditulis setelah karya yang termasuk dalam Buah Rindu, meskipun Buah rindu diterbitkan terakhir.[93] Johns menulis bahwa puisi dalam koleksi tersebut muncul seperti diatur dalam urutan kronologis, ia menunjuk ke berbagai tingkat kematangan yang ditunjukkan Amir kala tulisannya berkembang.[94]
Jassin menulis bahwa Amir mempertahankan identitas Melayu di seluruh karya-karyanya, meskipun menghadiri sekolah yang dikelola oleh orang Eropa. Berbeda dengan karya-karya rekan sezamannya, Alisjahbana atau Sanusi Pane, puisi-puisi Amir tidak memasukkan simbol-simbol modernitas Eropa seperti listrik, kereta api, telepon, dan mesin, yang memungkinkan "Alam dunia Melaju masih utuh..." dalam puisinya. Pada akhirnya, ketika membaca puisi Amir, "Membatja sadjaknja diruang fantasi kita tidak terbajang lukisan seorang jang berpantalon, berdjas dan berdasi, melainkan seorang muda jang berpakaian setjara Melaju." ("dalam imajinasi kita tidak melihat seorang pria bercelana, jaket, dan dasi, namun pemuda dalam pakaian tradisional Melayu".[95] Mihardja mencatat bahwa Amir menulis karya-karyanya pada saat teman-teman sekelas mereka, dan banyak penyair lain, "... mentjurahkan isi hati dan buah pikiran" ("mencurahkan hati atau pikiran mereka") dalam bahasa Belanda, atau jika "... melepaskan dirinja dari belenggu Bahasa Belanda" ("mampu membebaskan diri dari belenggu Bahasa Belanda"), dalam bahasa lokal Nusantara.[96]
Karya Amir sering berurusan dengan cinta (baik erotis dan ideal), dengan pengaruh agama ditunjukkan dalam banyak puisinya.[73]Mistisisme adalah penting dalam banyak karyanya, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam.[97] Pada setidaknya satu cerita pendek, ia mengkritik pandangan tradisional bangsawan dan "merongrong representasi tradisional karakter wanita".[98] Ada beberapa perbedaan tematik di antara dua koleksi puisi aslinya,[99] dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Njanji Soenji[sunting | sunting sumber]
Njanji Soenji (EYD:"Nyanyi Sunyi"), koleksi puisi pertama Amir, diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi bulan November 1937,[100] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat pada tahun 1938.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh empat potong puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul,[101] termasuk puisi Hamzah paling terkenal, "Padamu Jua". Jassin mengklasifikasikan delapan karya-karya ini sebagai puisi prosa, dengan tiga belas yang tersisa sebagai puisi biasa.[100] Meskipun ini adalah koleksi pertamanya yang diterbitkan, berdasarkan watak dan pembawaan yang baik dalam puisi ini,[102] konsensus umum adalah bahwa karya-karya dalam Buah Rindu di ditulis sebelumnya.[103] Penyair Laurens Koster Bohang menganggap puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi termasuk yang ditulis antara 1933 dan 1937,[104] sementara Teeuw menanggali puisi tersebut antara tahun 1936 dan 1937.[105]
Pembacaan Nyanyi Sunyi cenderung fokus pada nada-nada agama. Menurut Balfas, agama dan Tuhan terlihat di mana-mana di seluruh koleksi tersebut, dimulai dengan puisi pertama "Padamu Jua".[106] Jassin menulis, di dalamnya, Amir menunjukkan perasaan ketidakpuasan atas kurangnya kemampuan dirinya dan memprotes kemutlakan Tuhan,[107] tetapi tampak menyadari kecilnya dirinya di hadapan Tuhan, bertindak sebagai boneka untuk kehendak Tuhan.[108] Teeuw merangkum bahwa Amir mengakui bahwa ia tidak akan ada jika Tuhan tidak ada.[109] Jassin menemukan bahwa tema agama tersebut dimaksudkan sebagai sebuah pelarian dari penderitaan duniawi Amir.[110] Namun Johns menunjukkan bahwa pada akhirnya Amir menemukan sedikit penghiburan dalam Tuhan, karena Amir "tidak memiliki iman transenden yang dapat membuat sebuah pengorbanan besar, dan dengan tegas menerima konsekuensinya"; sebaliknya, ia tampak menyesali pilihannya untuk kembali ke Sumatera dan kemudian memberontak melawan Tuhan.[111]
Boeah Rindoe[sunting | sunting sumber]
Koleksi puisi kedua Amir, Boeah Rindoe (EYD:"Buah Rindu"), diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi Juni 1941,[112] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat di akhir tahun itu.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh lima puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul; satu, "Buah Rindu", terdiri dari empat bagian, sementara yang lain, "Bonda", terdiri dari dua. Setidaknya sebelas karya dalam koleksi ini telah dipublikasikan sebelumnya, baik di Timboel atau dalam Pandji Poestaka.[112] Koleksi ini, meskipun diterbitkan setelah Nyanyi Sunyi, umumnya dianggap telah ditulis sebelumnya.[103] Puisi-puisi dalam Buah Rindu juga bertanggal di periode antara 1928 dan 1935, tahun-tahun pertama Amir di Jawa;[104] Koleksi ini memberikan dua tahun tersebut, serta lokasi penulisannya, yaitu di Jakarta-Solo (Surakarta) -Jakarta.[17]
Teeuw menulis bahwa koleksi ini disatukan oleh sebuah tema kerinduan,[113] yang diperluas oleh Jassin: merindukan ibunya, merindukan kekasihnya (baik satu yang di Sumatera dan satu yang di Jawa), dan kerinduan untuk tanah airnya. Semua yang disebutnya sebagai "kekasih".[114] Teeuw menulis bahwa kerinduan ini tidak seperti nuansa religius dalam Nyanyi Sunyi: mereka lebih duniawi, didasarkan pada realitas;[99] Jassin mencatat perbedaan tematik lain di antara keduanya: tidak seperti Nyanyi Sunyi, dengan penggambaran yang jelas dari tuhan yang satu, Buah Rindu dengan eksplisit mengedepankan beberapa dewa, termasuk dewa Hindu, Dewa Siwa dan Dewi Parwati dan dewa abstrak seperti dewa dan dewi cinta.[114]
Gaya penulisan[sunting | sunting sumber]
Diksi Amir dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.[115] Diksi yang berhati-hati ini menekankan kata-kata sederhana sebagai unit dasar dan sesekali menggunakan aliterasi dan asonansi.[116] Pada akhirnya dia lebih bebas dalam penggunaan bahasanya ketimbang penyair tradisional:[106] Jennifer Lindsay dan Ying Ying Tan menyororti "daya cipta lisan"-nya, menyuntikkan "kemewahan ekspresi, kemerduan suara dan makna" ke dalam puisinya.[117]Siregar menulis bahwa hasilnya adalah "... permainan kata jang indah."[118] Teeuw menulis bahwa Amir memiliki pemahaman lengkap tentang kekuatan dan kelemahan dari Bahasa Melayu, mencampurkan pengaruh sastra timur dan barat,[116] sementara Johns menulis bahwa "kejeniusannya sebagai seorang penyair terletak dalam kemampuannya yang luar biasa untuk menghidupkan kembali bara puisi Melayu yang kala itu telah terbakar habis, dan untuk menanamkan ke dalam bentuk dan kosakata Melayu tradisional yang kaya, sebuah kesegaran yang tak terduga dan jelas dan kehidupan."[119]
Pilihan kata-kata Amir sangat bergantung pada istilah Bahasa Melayu lama, yang hanya sedikit menggunakan istilah kontemporer. Amir juga banyak meminjam dari bahasa Nusantara lainnya, terutama jawa dan Sunda;[120] pengaruh yang lebih dominan di Nyanyi Sunyi.[121] Dengan demikian, cetakan awal Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu disertai dengan catatan kaki yang menjelaskan kata-kata tersebut.[73] Teeuw menulis bahwa puisi-puisi Amir mencakup berbagai klise yang umum dalam pantun yang tidak akan dimengerti oleh pembaca asing.[122] Menurut penerjemah John M. Echols, Amir adalah seorang penulis yang memiliki kepekaan sangat besar, yang "bukan seorang penulis produktif tetapi prosa dan puisinya berada pada tingkat yang sangat tinggi, meskipun karyanya sulit, bahkan bagi orang Indonesia."[97] Echols menyanjung Amir karena menbangkitkan kembali bahasa Melayu, memberikan napas kehidupan baru ke dalam sastra Melayu pada 1930-an.[123]
Secara struktural, karya-karya awal Amir sangat berbeda dari karya-karyanya di kemudian hari. Karya yang disusun dalam Buah Rindu umumnya mengikuti pantun tradisional dan gaya syair empat baris dengan rima ekor, termasuk banyak dengan kuplet berima;[116] namun beberapa karyanya, menggabungkan keduanya, atau memiliki baris-baris tambahan atau kata-kata lebih dari yang diterima umum secara tradisional, sehingga menghasilkan ritme yang berbeda.[124] Meskipun karya-karya awal Amir tidak sedetail karya-karyanya di kemudian hari, Teeuw menulis bahwa karya-karya tersebut telah mencerminkan penguasaan penyair itu dari bahasa dan dorongan untuk menulis puisi.[125]Karya-karya dalam antologi ini mengulangi istilah-istilah kesedihan seperti "menangis", "duka", "rindu", dan "air mata", serta kata-kata seperti "cinta", "asmara", dan "merantau".[126]
Pada kala Amir menulis karya-karyanya yang kemudian disusun dalam Nyanyi Sunyi, gayanya telah bergeser. Dia tak lagi membatasi dirinya pada bentuk-bentuk tradisional, melainkan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang berbeda: Delapan karyanya mendekati puisi prosa dalam segi bentuk.[127] Chairil Anwar menggambarkan penggunaan bahasa pendahulunya tersebut dalam koleksi ini sebagai bersih dan murni, dengan kalimat-kalimat "keras, tajam, tetapi singkat" yang berangkat dari "daya rusak" puisi tradisional Melayu yang berbunga-bunga.[128]
Penghargaan dan pengakuan umum[sunting | sunting sumber]
Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan pengakuan dari pemerintah Sumatera Utara segera setelah kematiannya.[129] Pada tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni.[130] Pada tahun 1975 ia dinyatakan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.[131] Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional.[70] Sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan untuknya.[132] Beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk di Medan,[133] Mataram,[134] dan Surabaya.[135]
Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era sebelum Revolusi Nasional Indonesia.[1] Anwar menulis bahwa penyair ini adalah "puncak gerakan Pudjangga Baru", mengingat Nyanyi Sunyi telah menjadi "cahaya terang yang disinarkan dia [Amir] di atas bahasa baru";[128] namun, Anwar tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik.[136] Balfas menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra terbaik yang mengungguli era mereka".[137] Karya Hamzah, khususnya "Padamu Jua", diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi Yanti setelah 12 Menit.[138]
Jassin telah menyebut Amir "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe", nama yang dia digunakan sebagai judul bukunya tentang penyair tersebut.[1] Sebagai penutup bukunya tersebut, Jassin menulis:
sumber"... Amir bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik dalam puisi maupun prosanja. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum, djiwanja mudah tergetar oleh keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sadjaknja bernafaskan kasih : kepada alam, kampung halaman, kepada kembang, kepada kekasih. Dia merindu tak habis2nja, pada zaman jang silam, pada bahagia, pada 'hidup bertentu tudju'. Tak satupun sadjak perdjuangan, sadjak adjakan membangkit tenaga, seperti begitu gemuruh kita dengar dari penjair2 Pudjangga Baru jang lain. Tapi laguan alamnja adalah peresapan jang mesra dari orang jang tak diragukan tjintanja pada tanah airnja."—H.B. Jassin, Jassin (1962)
https://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah