Amir Hamzah III

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi Oetomo di SurakartaJawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa JawaSansekerta, dan Arab.[20] Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta.[21] Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja;[22] mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja kemudian bercerita, bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"), tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.[23]
Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau dari Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu.[24] Tahun 1930 Amir menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi".[25] Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya.[26] Soendari, putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir mengajari Soendari bahasa Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa.[27] Mereka segera bertemu setiap hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik.[28]
Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya,[29] mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru.[30] Pada awalnya, hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam[31] – ketika orangtua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk bertemu.[32]
Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" (EYD":"Sunyi") dan "Maboek ..." (EYD:"Mabuk"), diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah,[33] tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam majalah Pandji Poestaka.[34] Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera " (EYD:"Memajukan Sastra ", rubrik sastra Pandji Poestaka), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen.[35] Amir menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan.[35] Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera".[36] Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933,[37] dengan judul Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana,[38]sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.[34]
Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.[39] Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat.[40] Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935.[34] Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.[41]

sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah

No comments:

Post a Comment

Police Story

Perampokan Bank S uatu pagi yang cerah dengan titik matahari yang sangat indah di ufuk timur bandung ini, terdengar suara yang mengg...