Amir Hamzah IV



Kembali ke Langkat[sunting | sunting sumber]


Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh penyair pemula Amir. Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di kapal Opten Noort dari Tanjung Priok dan kembali ke Sumatera. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya.[41] Sebelum pernikahannya, Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari.[42] Beberapa minggu kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah upacara mewah.[41] Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus memikirkan Soendari.[43]
Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir,[41] Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran Indra Poetera.[44] Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian, Kamiliah adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putri bernama Tengkoe Tahoera.[c] [45]
Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencintainya karena ia telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya, pengakuan yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah album dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di rumahnya [46] dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam pikirannya.[47]Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat keraton, menangani masalah administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus pidana.[48] Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939 – sebuah perjalanan terakhir Amir ke pulau Jawa.[49]
Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa,[50] puisi-puisinya yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Poedjangga Baroe. Koleksi puisi pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan.[34] Semuanya kemudian diterbitkan sebagai buku.[51]Sebuah buku terakhir, Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radjanja (EYD:"Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya"), diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.[34]
Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat, divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya oleh masyarakat umum, dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh dari Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan sensor di Medan.[52] Dalam posisinya sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.[50]

Pasca-kemerdekaan dan kematian[sunting | sunting sumber]

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatera dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatera, dan pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai;[53] Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia,[54]kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia),[53] membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional,[55] dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.[54]
Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil.[56] Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatera,[57] dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat.[58] Pada tanggal 7 Maret1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap;[59] sementara Kamiliah dan Tahoera lolos.[60] Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai.[59] Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.[61]
Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di selnya:[62]
Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita
Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut;[d][63] beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut.[64] Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut.[65] Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang.[66] Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung PuraLangkat.[67] Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Pengaruh[sunting | sunting sumber]

Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu bercakap dalam bahasa Melayu, sehingga bahasa tersebut telah "... mendjadi darah daging baginja." (EYD:"menjadi darah dan daging baginya").[68] Sejak usia muda ia telah diperkenalkan pada sastra lisanpantun tertulis dan syair, baik mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi.[69] Seperti ayahnya sebelum dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti Hikayat Hang TuahSyair Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Dia akan mendengarkan tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan dalam upacara umum, [68] dan setelah dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan tersebut, meskipun koleksinya tersebut hancur saat revolusi komunis Sumatera Timur yang merenggut nyawanya.[69]
Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca karya sastra ArabPersia, dan sastra Hindu.[70] Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-negara Timur lainnya:[71] puisi-puisi terjemahan dalam Setanggi Timoer misalnya, memasukkan karya-karya Umar Khayyām (Persia), Du Fu (China), Fukuda Chiyo-ni (Jepang), dan Rabindranath Tagore (India).[34] Karya-karya ini tidak dibacanya dalam bahasa aslinya, tetapi dalam terjemahan berbahasa Belanda.[72] Kritikus sastra Muhammad Balfas menulis bahwa, tidak seperti rekan sezamannya, Amir menunjukkan hanya sedikit pengaruh dari soneta dan penyair neo-romantis Belanda, para Tachtigers;[73] Johns menyimpulkan hal yang sama.[74]Namun pakar sastra Australia Keith Foulcher mencatat bahwa penyair dikutip "Lenteavond" dari Willem Kloos dalam artikelnya tentang pantun, menunjukkan bahwa Amir sangat mungkin dipengaruhi oleh Tachtigers.[75]

sumber 
https://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah

No comments:

Post a Comment

Police Story

Perampokan Bank S uatu pagi yang cerah dengan titik matahari yang sangat indah di ufuk timur bandung ini, terdengar suara yang mengg...