Animasi Menurut Islam

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sepanjang yang saya ketahui ajaran Islam melarang pembuatan gambar atau pun lukisan mahluk hidup, terlebih lagi objek-objek tersebut tampak sangat hidup. Karena kalau tidak salah termasuk dalam usaha meniru perbuatan Allah Swt. Terkait dengan hal tersebut saya ingin menanyakan kepada Bapak Ustadz, bagaimana hukumnya jika dihadapkan dalam masalah membuat objek dalam bentuk animasi. Dengan kemajuan teknologi saat ini membuat objek di komputer jauh lebih canggih dibandingkan hanya sekedar membuat lukisan. Dalam bentuk animasi objek-objek mahluk tampak nyata dan bisa bergerak.
Kemudian bagaimana pula dengan perekembangan teknologi di Jepang yang berusaha membuat robot dengan tingkah laku menyerupai mahluk hidup. Bukankah ini juga termasuk usaha untuk "meniru kemampuan Allah Swt", walau pun kita sadari ilmu Allah sangat luas tak terhingga dibandingkan dengan yang diketahui manusia. Demikian pertanyaan saya, terima kasih atas jawaban yang Ustadz berikan, semoga Allah Swt senantiasa memberikan kita jalan yang lurus.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh
Kalau kita membaca sekian banyak pendapat ulama tentang masalah gambar, kita bisa membuat peta pendapat mereka menjadi beberapa corak yang bervariasi.
Ada sebagian pendapat ulama yang cenderung mengimplementasikan dalil-dalil haramnya gambar dan patung secara apa adanya. Pokoknya segala tiruan dari makhluk hidup langsung dihukum haram. Tidak peduli apa kepentingnnya. Mereka ini kemudian mengharamkan juga fotografi, sehinggga KTP mereka pun tidak ada pas fotonya. Entah kalau gambar tokoh yang ada dalam pecahan mata uang, apakah mereka terima atau tidak.
Ada lagi pendapat yang membedakan antara gambar dua dimensi dengan gambar tiga dimensi. Atau istilah yang sering digunakan adalah yang punya bayangan dan tidak punya bayangan. Segala patung yang berupa benda tiga dimensi mereka haramkan, sedangkan gambar pada kertas atau kanvas, tidak diharamkan.
Ada lagi yang berpendapat bahwa gambar dua dimensi pun haram, kecuali bila sebagian tubuhnya dihilangkan. Sehingga dalam beberapa gambar peragaan orang shalat, kami pernah melihat photo orang yang sedang berwudhu’, tetapi wajahnya dicrop (dihilngkan). Alasannya, dengan menghilangkan wajah pada photo, maka tidak lagi bisa dikatakan sebagai usaha untuk meniru ciptaan Allah SWT.
Maksud Larangan Meniru Ciptaan Allah
Sebenarnya apa maksud larangan meniru ciptaan Allah? Apakah secara mutlak manusia ini tidak boleh meniru ciptaan Allah?
Tentu saja kita perlu sedikit lebih cerdas dalam memahaminya. Sebab di dalam Al-Quran justru banyak sekali anjuran dan himbauan kepada manusia untuk merenungkan ciptaan Allah. Tujuannya selain untuk merasakan kekuasaan-Nya, juga untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari isyarat yang ada.
Dan begitu banyak kemajuan teknologi yang kita temukan di abad ini yang berawal dari meniru ciptaan Allah SWT. Pesawat terbang tidak ditemukan kecuali manusia meniru prinsip burung-burung yang bisa terbang. Kapal selam tidak tercipta kecuali setelah manusia mempelajari dan meniru prinsip-prinsip yang terdapat pada makhluk bawah air. Bendungan besar dibuat berdasarkan tiruan dari arsitek ciptaan makhluq Allah, berang-berang air.
Bahkan di dunia kedokteran kita telah menemukan alat-alat buatan yang bisa diimplant ke dalam tubuh, sebagai pengganti fungsi orang yang sudah rusak.
Namun semua itu tentu saja bukan dengan maksud menandingi ciptaan Allah. Sebaliknya, Allah SWT sendiri yang memerintahkan manusia untuk menciptakannya dengan cara melihat, memperhatikan dan tentunya meniru apa yang telah Allah SWT ciptakan sebelumnya.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? 
(QS. Al-Ghasyiah: 17)
Jadi larangan meniru ciptaan Allah itu bukan dipahami bahwa manusia tidak boleh melakukan penelitian atau inovasi dan penemuan ilmiyah lainnya. Dan robot-robot yang diciptakan itu, atau bahkan manusia bionic, android, cyborg dan sejenisnya, tentu diciptakan bukan dengan maksud untuk menentang dan menandingi ciptaan Allah. Robot-robot itu diciptakan justru untuk membantu pekerjaan manusia.
Misalnya, ada jenis pekerjaan yang sangat berbahaya seperti memadamkan api kebakaran di suatu gedung bertingkat. Kalau kita punya robot cerdas yang tahan api dan punya kekuatan besar, tentu akan sangat bermanfaat ketimbang mempertaruhkan nyawa manusia. Demikian juga robot tim SAR, bisa digunakan untuk melakukan penyelamatan dengan tingkat kesulitan tinggi yang sangat beresiko bagi nyawa manusia.
Bahwa ada sebagian ilmuwan yang kafir dan merasa dirinya mampu menciptakan sesuatu yang lebih sempurna dari Allah, lalu merasa tidak perlu lagi menyembah Allah, adalah kasus yang sering terjadi. Tapi yang salah bukan pada karyanya, melainkan pada jiwanya. Mentang-mentang punya kekuasaan yang sangat luas dan memiliki teknologi tinggi di zamannya, Ramses II (Firaun) sudah merasa bisa jadi tuhan, lalu memproklamirkan ketuhanannya dirinya. "Aku adalah tuhan kalian yang paling tinggi", demikian ungkapnya angkuh.
Seharusnya sikap yang benar adalah seperti Nabi Sulaiman. Beliau punya kekuasaan, teknologi tertinggi yang mungkin hari ini pun belum tertandingi, namun sikapnya tetap tawadhu’. Beliau dengan rendah hati mengomentarinya dengan ungkapan,"Ini semua adalah karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur ataukah aku kufur."
Jadi kalau pertanyaan anda tentang hukum robot itu, yang bermasalah adalah jiwanya, bukan karya penemuan ilmiyahnya. Robot itu secara umum tidak diciptakan untuk meniru ciptaan Allah lalu untuk menentang-Nya.
Sebaliknya, patung dan berhala yang biasanya disembah itu, ternyata memang diciptakan di masa lalu untuk meniru ciptaan Allah SWT dan juga untuk disembah-sembah. Maka jadilah patung itu diharamkan di dalam Islam, meski bukan untuk tujuan disembah. Adapun gambar makhluq bernyawa, para ulama masih sedikit berselisih paham, apaakh haram secara mutlak, ataukah dengan syarat. Sedangkan photografi, umumnya mereka mengatakan tidak sama dengan lukisan. Sebab photografi adalah bayangan yang ditangkap dan disimpan, bukan usaha untuk membuat tiruan berupa lukisan.
Wallahu ‘alam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh
sumber

http://www.eramuslim.com/kontemporer/membuat-tiruan-mahluk-hidup-dalam-bentuk-animasi-komputer-dan-robot.htm#.WCdY6S197IU

Teuku Umar

Teuku Umar (Meulaboh1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia yang berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan Belanda. Ia melawan Belanda ketika telah mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.


Teuku Umar yang dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.
Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[1]. Salah seorang keturunan Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien[2].
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.

Perang Aceh[sunting | sunting sumber]

Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong(kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.[2]
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.


Taktik Penyerahan Diri[sunting | sunting sumber]

Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer[3].

Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut]) sebagai tangan kanannya, dikabulkan.

Insiden Kapal Nicero[sunting | sunting sumber]

Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero" terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribu dolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda.
Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal "Nicero" merupakan pekerjaan yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris sendiri tidak dapat merebutnya kembali. Namun ia sanggup merebut kembali asal diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar berangkat dengan kapal "Bengkulen" ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa panglimanya. Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ikut, dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Teuku Umar juga menyarankan Raja Teunom agar tidak mengurangi tuntutannya.[3]
Melanjutkan Perlawanan[sunting | sunting sumber]
Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh, dan memimpin kembali perlawanan rakyat. dan Teuku Umar berhasil merebut kembali daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di LampisangAceh Besar, yang juga menjadi markas tentara Aceh.
2 tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke bandar Rigaih kapal "Hok Canton" yang dinahkodai pelaut Denmarkbernama Kapten Hansen, dengan maksud menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud menjebak Umar untuk naik ke kapalnya, menculiknya dan membawa lari lada yang bakal dimuat, ke pelabuhan Ulee Lheu, dan diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.
Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen, dan mengirim utusan. Hansen berkeras Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari salah seorang Panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen tidak tahu kalau dirinya sudah dikepung.
Paginya Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun Hansen ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar sudah siap, dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Hansen berhasil dilumpuhkan dan tertembak ketika berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan awak kapal dilepas. Belanda sangat marah karena rencananya gagal.[3]
Perang pun berlanjut, pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Belanda sebenarnya pun sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan lama.

Penyerahan Diri Kembali[sunting | sunting sumber]





Teuku Umar sendiri merasa perang ini sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan sawah ladangnya. Teuku Umar pun mengubah taktik dengan cara menyerahkan diri kembali kepada Belanda.
September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan.[3]
Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu memenuhi setiap panggilan dari Gubernur Belanda di Kutaraja, dan memberikan laporan yang memuaskan, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda.
Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat (misalnya Teuku Mat Amin). Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.

Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadiri para pemimpin pejuang Aceh, membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien pun sadar bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangan.[3]
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.
Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar, untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. maka pada tanggal 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda.
Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando.
Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah.

Gugur[sunting | sunting sumber]


Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.[3]

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Atas pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air. Salah satu kapal perang TNI AL dinamakan KRI Teuku Umar (385). Selain itu Universitas Teuku Umar di Meulaboh diberi nama berdasarkan namanya.

sumber terkait.

https://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Umar

Apa itu Architecture?

Arsitektur adalah seni serta ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.

"Arsitek" berasal dari Latin architectus, dan dari bahasa Yunani: architekton (master pembangun), arkhi (ketua) dan tekton (pembangun, tukang kayu).


Dalam penerapan profesi, arsitek berperan sebagai pendamping, atau wakil dari pemberi tugas (pemilik bangunan). Arsitek harus mengawasi agar pelaksanaan di lapangan/proyek sesuai dengan bestek dan perjanjian yang telah dibuat. 


Dalam proyek yang besar, arsitek berperan sebagai direksi, dan memiliki hak untuk mengontrol pekerjaan yang dilakukan kontraktor. Bilamana terjadi penyimpangan di lapangan, arsitek berhak menghentikan, memerintahkan perbaikan atau membongkar bagian yang tidak memenuhi persyaratan yang disepakati.
Menurut Marcus Vitruvius Pollio (lahir 80-70 SM, meninggal setelah 15 SM), umumnya dikenal sebagai Vitruvius, seorang penulis Romawi, arsitek, dan insinyur sipil, di dalam bukunya De Architectura (yang merupakan sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang).

Bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. 
Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.

Arsitektur adalah bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah matematika, sains, seni, teknologi, humaniora, politik, sejarah, filsafat, dan sebagainya. Mengutip Vitruvius, 
"The architect should be equipped with knowledge of many branches of study and varied kinds of learning, for it is by his judgement that all work done by the other arts is put to test. This knowledge is the child of practice and theory. Practice is the continuous and regular exercise of employment where manual work is done with any necessary material according to the design of a drawing. Theory, on the other hand, is the ability to demonstrate and explain the productions of dexterity on the principles of proportion.
It follows, therefore, that architects who have aimed at acquiring manual skill without scholarship have never been able to reach a position of authority to correspond to their pains, while those who relied only upon theories and scholarship were obviously hunting the shadow, not the substance. But those who have a thorough knowledge of both, like men armed at all points, have the sooner attained their object and carried authority with them.
In all matters, but particularly in architecture, there are these two points:the thing signified, and that which gives it its significance. That which is signified is the subject of which we may be speaking; and that which gives significance is a demonstration on scientific principles. It appears, then, that one who professes himself an architect should be well versed in both directions. He ought, therefore, to be both naturally gifted and amenable to instruction. Neither natural ability without instruction nor instruction without natural ability can make the perfect artist. Let him be educated, skilful with the pencil, instructed in geometry, know much history, have followed the philosophers with attention, understand music, have some knowledge of medicine, know the opinions of the jurists, and be acquainted with astronomy and the theory of the heavens.

The reasons for all this are as follows. An architect ought to be an educated man so as to leave a more lasting remembrance in his treatises. Secondly, he must have a knowledge of drawing so that he can readily make sketches to show the appearance of the work which he proposes. Geometry, also, is of much assistance in architecture, and in particular it teaches us the use of the rule and compasses, by which especially we acquire readiness in making plans for buildings in their grounds, and rightly apply the square, the level, and the plummet. By means of optics, again, the light in buildings can be drawn from fixed quarters of the sky. It is true that it is by arithmetic that the total cost of buildings is calculated and measurements are computed, but difficult questions involving symmetry are solved by means of geometrical theories and methods.

A wide knowledge of history is requisite because, among the ornamental parts of an architect's design for a work, there are many the underlying idea of whose employment he should be able to explain to inquirers. For instance, suppose him to set up the marble statues of women in long robes, called Caryatides, to take the place of columns, with the mutules and coronas placed directly above their heads, he will give the following explanation to his questioners. Caryae, a state in Peloponnesus, sided with the Persian enemies against Greece; later the Greeks, having gloriously won their freedom by victory in the war, made common cause and declared war against the people of Caryae. 

They took the town, killed the men, abandoned the State to desolation, and carried off their wives into slavery, without permitting them, however, to lay aside the long robes and other marks of their rank as married women, so that they might be obliged not only to march in the triumph but to appear forever after as a type of slavery, burdened with the weight of their shame and so making atonement for their State. Hence, the architects of the time designed for public buildings statues of these women, placed so as to carry a load, in order that the sin and the punishment of the people of Caryae might be known and handed down even to posterity. "

Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni. 

sumber

https://vittapedia.blogspot.co.id/2015/03/arsitektur-adalah-seni-serta-ilmu-dalam.html

Untung Suropati

Untung Surapati (Bahasa JawaUntung Suropati) (terlahir Surawiroaji, lahir di Bali1660 – meninggal dunia di BangilJawa Timur5 Desember 1706 pada umur 45/46 tahun) adalah seorang tokoh dalam sejarah Nusantara yang dicatat dalam Babad Tanah Jawi. Kisahnya menjadi legendaris karena mengisahkan seorang anak rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi seorang bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan.
Kisah Untung Surapati yang legendaris dan perjuangannya melawan kolonialisme VOC di Pulau Jawa membuatnya dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Asal-usul Untung[sunting | sunting sumber]

Untung Surapati, Nama aslinya Surawiroaji.[1] Menurut Babad Tanah Jawi ia berasal dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar. Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si Untung".
Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor karena menjalin hubungan dengan putrinya yang bernama Suzane. Untung kemudian menghimpun para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan.

Mendapat nama Surapati[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya yang bernama Pangeran Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia memutuskan menyerah tetapi hanya mau dijemput perwira VOC pribumi.
Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput Pangeran Purbaya.
Untung menemui Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong28 Januari 1684.
Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, tetapi istrinya yang bernama Gusik Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini kembali menjadi buronan VOC. Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper yang mengejarnya di desa Rajapalah.
Ketika melewati Kesultanan Cirebon, Untung berkelahi dengan Raden Surapati, anak angkat sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Surapati. Surapati pun dihukum mati. Sejak itu nama "Surapati" oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung.

Terbunuhnya Kapten Tack[sunting | sunting sumber]Untung alias Surapati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti VOC yang gencar mendesak Amangkurat II agar membatalkan perjanjiannya dengan bangsa Belanda tersebut. Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma dengan Surapati.

Kapten François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari 1686 untuk menangkap Surapati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC.
Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belanda tewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan Untung. Tentara Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng mereka.

Bergelar Tumenggung Wiranegara[sunting | sunting sumber]

Amangkurat II takut pengkhianatannya terbongkar. Ia merestui Surapati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di kota itu, Surapati mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Surapati di Kartasura.
Untung Surapati pun mengangkat diri menjadi bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wiranegara.
Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.

Kematian Untung Surapati[sunting | sunting sumber]

Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Pada tahun 1704 Pangeran Puger mengangkat diri menjadi Pakubuwana I dengan dukungan VOC. Tahun 1705 Amangkurat III diusir dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan.
Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOCKartasuraMadura, dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng Bangil akhirnya menewaskan Untung Surapati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706. Namun ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan. Makam Surapati pun dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Surapati palsu.
Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Surapati yang segera dibongkarnya. Jenazah Surapati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.

Perjuangan putra-putra Surapati[sunting | sunting sumber]

Putra-putra Untung Surapati, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sebagian dari mereka ada yang tertangkap bersama Amangkurat III tahun 1708 dan ikut dibuang ke Srilangka.
Sebagian pengikut Untung Surapati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak Surapati dalam perang tahun 1706.
Setelah Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Surapati masih setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar menentang Amangkurat IV yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Surapati dan para pengikutnya dibuang VOC ke Srilangka.

Dalam karya sastra dan media lain[sunting | sunting sumber]

Kisah perjalanan hidup Untung Surapati yang legendaris, selain sekarang menjadi nama jalan yang umum di Indonesia, juga cukup banyak ditulis dalam bentuk sastra. Selain Babad Tanah Jawi, juga terdapat antara lain Babad Surapati.
Penulis Hindia Belanda Melati van Java (nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun 1887. Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah ini adalah sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul Surapati.
Taman Burgemeester Bisschopplein di Batavia (sekarang Jakarta) pasca kemerdekaan Indonesia diubah namanya menjadi "Taman Suropati" untuk mengabadikan nama Untung Surapati.

sumber terkait silahkan klik link di sini

Police Story

Perampokan Bank S uatu pagi yang cerah dengan titik matahari yang sangat indah di ufuk timur bandung ini, terdengar suara yang mengg...