Seni Peran

      A. Pengertian Seni peran
Mungkin para user sudah pernah baca apa itu seni peran baik itu dari website-website yang lain maupun dari para blogger, yang ingin admin sampaikan di sini hanya kesimpulan dari semua makna, pengertian ataupun arti dari seni peran tersebut.
Makna yang pertama admin ambil itu dari salah satu kutipan dari seorang Konsultan Akting, yang menyatakan bahwa seni peran adalah “ SEGENAP AKTIVITAS, BAIK LAHIR MAUPUN BATIN YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG AKTOR DI ATAS PENTAS UNTUK MENGHIDUPKAN TOKOH PERANANNYA SESUAI DENGAN JALANNYA CERITERA”
Pengertian yang kedua admin ambil dari http://itcentergarut.blogspot.co.id/2011/08/pengertian-seni-peran.html yang mengatakan bahwasanya seni peran adalah salah satu cabang yang khusus mempelajari tehnik menciptakan dan memainkan peran (berakting) sebagai seorang tokoh tertentu baik di atas pentas (panggung) maupun dalam sebuah film.
Kesimpulan dari admin seni peran ialah salah satu cabang yang khusus yang mempelajari tentang segenap aktivitas, baik lahir maupun batin yang dilakukan oleh seorang actor untuk menghidupkan tokoh peranannya sesuai dengan jalan ceritanya, baik itu di atas pentas (panggung) maupun dalam sebuah film.
B. Sejarah Seni Peran
Menurut RMA. Harymawan, bahwa di Indonesia terdapat sejarah naskah dan pentas, antara lain:
1. Sebelum Abad ke-20
Tak ada naskah dan pentas. Yang ada ialah naskah-naskah cerita rakyat dan kisah-kisah yang turun-temurun disampaikan secara lisan oleh ayah kepada anak. Drama-drama rakyat, istana, keagamaan, di arena, di bawah atap atau lapangan terbuka
2. Permulaan Abad ke-20
Karena pengaruh drama barat dan cara pemanggungannya (staging), timbul bentuk-bentuk drama baru: komedi stambul/ istana/ bangsawan, tonil opera, wyang orang, ketoprak, ludruk dan lain-lain. Tidak menggunakan naskah (improvisatoris), tetapi menggunakan pentas: panggungnya berbingkai
3. Zaman Pujangga Baru
Muncul naskah drama asli yang dipakai oleh pementasan amatir. Rombongan professional tidak menggunakannya.
4. Zaman Jepang
Sensor Sendebu sangat keras, diharuskan menggunakan naskah. Rombongan professional terpaksa belajar membaca. Perkumpulan amatir tidak kaget karena terdiri atas kaum terpelajar. Bagi para professional merupakan kemajuan, namun sayang karena keinsyafan.
5. Zaman Kini
Rombongan professional membuang naskah kembali. Organisasi amatir setia pada naskah, sayang sering mengabaikan pengarang, penyadur atau penyalinnya.
Setelah kemerdekaan, muncul dimana-mana di seluruh pelosok tanah air perkumpulan drama amatir, baik itu kaum awam, setengah awam, maupun ahli. Sedangkan masalah mengenai drma akan berkisar pada hal-hal berikut: pertama, naskah. Pementasan yang berulang-ulang dirasa kurang adanya senthan repertoar asing. Maka naskah ditambah dengan bumbu repertoar asing dalam proses salinan dan saduran. Kedua, pemain: banyak pementasan yang mengalami kegagalan. Karena kurangnya latihan ataupun hanya ingin jual tampang plus minimnya usia dan pengalaman, menjadi hambatan bagi pementasan. Ketiga, stage: di Indonesia telah bermunculan pelbagai gedung-gedung pertunjukan. Di sini peran dari tempat teater akan menentukan watak pertunjukan itu sendiri. Keempat, penonton: masyarakat cukup mempunyai minat. Hal ini yang mendorong munculnya berbagai perkumpulan drama.
Sedangkan untuk bentuk-bentuk teater, antara lain:
Yang lahir dalam lingkungan desa: kegiatannya yang terikat erat oleh persoalan kehidupan sehari-hari dalam desa, yaitu adat dan agama. Contoh: pada kehidupan teater Bali.
Yang lahir di Keraton: pertunjukan dilakukan pada upacara-upacara tertentu dan para pelakunya adalah keluarga bangsawan.
Yang tumbuh di kota-kota: ia lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebutuhan baru.
Yang diberi predikat madern atau kontemporer: ia menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe namun sebagai individu.
C.  Pembagian Seni Peran
Kalau kita membagi berdasarkan latar belakangnya, kita bisa seni peran ini menjadi dua bagian, yaitu seni peran tradisional dan seni peran modern.
1. Seni Peran Tradisional
Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang kaya dengan beragam jenis seni peran. Hampir setiap daerah memiliki jenis seni peran tersendiri, yang unik dan khas. Seni peran tradisional bisa dikatakan sebagai bentuk pertunjukan yang pesertanya dari daerah setempat karena terkondisi dengan adat istiadat, sosial masyarakat dan struktur geografis masing-masing daerah.
Biasanya pementasan dilaksanakan di panggung yang sifatnya terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah. Dan umumnya pementasan itu cukup sederhana. Bahkan dari segi ceritanya biasanya cerita yang dimainkan bersifat turun temurun, dan ada lakon serta pakem tertentu.
Di antaranya seni peran yang banyak berkembang secara tradisional di negeri kita adalah :
§ Ketoprak dari Yogyakarta
§ Ludruk dari Surabaya
§ Wayang Orang dari Jawa Tengah/Yogyakarta
§ Lenong dan Topeng Blantik dari Betawi
§ Mamanda dan Wayang Gong dari Kalimantan Selatan
§ Mak Yong dan Mendu dari Riau
§ Masres dari Indramayu
§ Randai dari Sumatera Barat
§ Dulmulk dari Sumatera Selatan
§ Bangsawan dari Sumatera Utara
§ Anak Ari dari Nusa Tenggara
§ Arya Barong Kecak dari Bali
2. Seni Peran Modern
Ciri dari seni peran modern adalah adalah cerita yang bahannya dari kejadian-kejadian sehari-hari, atau karya sastra, yang dikemas sedemikian rupa dengan beragam teknik, seperti tata panggung, tata rias, lampu, adanya alur cerita dan biasanya dipentaskan di teater tertutup, atau dalam bentuk film.
Yang bisa kita golongkan sebagai seni peran modern antara lain adalah drama, teater, sinetron dan film.
D. Pendapat Yang Mengharamkan
Hukum seni peran ini menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Seni peran ini di mata sebagian kalangan dianggap terlarang dan melanggar beberapa ketentuan syariat.
Namun menurut sebagian ulama yang lain lagi, hukum seni peran tidak selalu harus haram, khususnya apabila beberapa ketentuan dan kriterianya bisa dipatuhi. Bahkan dalam beberapa hal, seni peran ini juga bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif, termasuk dalam pengajaran, sosialisasi, penerangan sampai kepada pesan-pesan dakwah dan moral.
Ada pun hujjah dari kalangan yang mengharamkan seni peran ini antara lain :
1. Seni Peran adalah Dusta
Pada hakikatnya seseorang yang berakting memerankan tokoh orang lain, dia sedang berdusta atau berbohong. Bahkan apa yang dilakukannya, termasuk yang diucapkannya, pada hakikatnya adalah dusta.
Dalam pandangan ulama yang mengharamkan seni peran, memerankan diri menjadi orang lain tidak dibenarkan dalam agama, karena orang lain yang diperankan itu belum tentu bersedia atau menerima. Dan belum tentu penggambaran tentang tokoh yang diperankan itu, betul-betul terjadi secara sesungguhnya.
Selain itu, umumnya para pemeran di dalam teater, drama, atau film, seringkali bermake-up tertentu, atau berkostum tertentu, yang tidak sesuai dengan perilaku dirinya yang sesungguhnya. Maka kostum dan make itu tidak lain hanyalah kepura-puraan belaka. Dan berpura-pura itu adalah dusta.
2. Meniru Tokoh Kafir dan Pendosa
Di dalam seni peran, terkadang ada tokoh-tokoh yang bukan muslim atau orang yang jahat yang dimainkan atau diperankan oleh orang yang muslim dan shalih. Hal ini tentu bertentangan antara kesehariannya dengan apa yang diperankannya.
Menurut mereka yang mengharamkan seni peran, bila ada seorang muslim memerankan tokoh kafir, lalu tokoh mengucapkan hal-hal yang mungkar, atau memperagakan aktifitas yang mungkar seperti minum khamar, berjudi, berkata yang kotor dan keji, bahkan kadang mengucapkan kata-kata yang mengadung penghinaan, cacian, makian atau hujatan kepada Islam, maka meski semua itu hanya pura-pura dan main-main, tetap saja diharamkan.
Apalagi bila pemain itu pasangan suami istri, yang di dalam adegan itu mereka berpura-pura bercerai, dimana suami pura-pura menjatuhkan talak, maka secara hukum syariah, meski judulnya hanya sandiwara dan pura-pura, tetapi hukumnya tetap berlaku. Talaknya tetap jatuh, walau pun hanya ucapan main-main di dalam lakon sebuah film.
3. Sering Meninggalkan Shalat dan Kewajiban
Aktifitas dan kehidupan para aktor dan orang-orang teater serta orang-orang film agak berbeda dengan jadwal kerja yang umumnya dilakukan orang. Sebab sebuah produksi baik pementasan atau pun pembuatan film, biasanya memakan waktu yang panjang dan lama. Aktifitas pengambilan gambar dari film terkadang sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Dan hal itu dilakukan setiap hari menghabiskan banyak waktu.
Dan oleh karena itu rawan terjadi biasanya orang-orang yang aktif di teater atau pembuatan film, seringkali meninggalkan shalat wajib lima waktu, karena terlalu asik dan sibuk dengan kegiatannya. Dan hal itu adalah sebuah dosa besar yang merupakan kemunkaran.
Para penontonnya pun seringkali lupa waktu ketika menonton, dan sampai meninggalkan shalat juga.
4. Seni Akting Buatan Orang Kafir
Asal muasal seni peran atau akting ini bukan milik kebudayaan Islam, sehingga sampai hari ini kita tidak menemukan umat Islam memiliki tokoh yang senior di bidang ilmu akting ini. Sejatinya ilmu atau seni peran itu sepanjang zaman dianggap bukan hasil produk dari peradaban Islam, tetapi dari berakar dari kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa yang nota bene bukan Islam.
Dan sampai hari ini seni akting itu pun lebih berkembang di Barat ketimbang di negeri-negeri Islam. Panggung teater dan produksi film di dunia didominasi oleh negara-negara non-muslim.
Sehingga seni peran itu boleh dibilang berciri khas sesuatu yang bukan milik bangsa muslim. Dan bila kita mengembangkannya, artinya sama saja kita menyerupai suatu kaum yang bukan pemeluk Islam.
5. Meniru Lawan Jenis
Di dalam seni peran, seorang aktor ditantang untuk bisa memerankan apa saja, termasuk memerangkan tokoh yang berlawan jenisnya dari dirinya sendiri. Seorang laki-laki ditantang untuk bisa memerankan tokoh perempuan, dan sebaliknya seorang perempuan ditantang untuk memerankan tokoh laki-laki.
Dan kedua jenis pemeranan itu nyata-nyata haram, meski pun hanya pura-pura. Justru yang diharamkan dalam hal ini kepura-puraannya. Di syariat Islam, prinsipnya tidak boleh terjadi saling meniru sehingga terjadi tasyabbuh (penyerupaan) antara dua jenis kelamin. Karena tasyabbuh itu kalau dilakukan dengan sengaja, maka dilaknat oleh Rasulullah SAW
Rasulullah SAW melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki. (HR. Bukhari)
Al-Mutasyabbih bi an-nisa’ bermakna laki-laki yang berpakaian, berdandan, bermake-up, bergaya, dan berpenampilan layaknya seorang perempuan, sehingga sekilas orang akan menyangka bahwa dirinya memang perempuan.
Sedangkan al-mutasyabihat bi ar-rijal adalah keadaan sebaliknya, yaitu wanita yang berpakaian, berdandan, bermake-up, bergaya, dan berpenampilan layaknya seorang laki-laki, sehingga sekilas orang akan menyangka bahwa dirinya memang laki-laki.
Jadi pada hakikatnya yang diharamkan bukan hanya terbatas pakaian saja, tetapi segala hal yang terkait dengan penampilan, baik tata rias, asesoris pakaian, termasuk juga gerak-gerik dan bahasa tubuh.
Bahkan laki-laki dan perempuan tetap berbeda dalam tata cara bersikap dan berbicara. Maka keharaman penyerupaan antara laki-laki dan perempuan juga termasuk ketika seorang laki-laki meniru gaya perempuan, dan ketika perempuan meniru gaya laki-laki.
Semua itu merupakan hal yang terlarang dengan sangat sehingga beliau SAW sampai harus melaknat pelaku-pelakunya. Dan suatu dosa bila sampai disebut dengan istilah laknat menunjukkan bahwa dosa itu sangat besar dan keluar dari rahmat Allah.
6. Membuka Aurat & Campur-baur Laki dengan Wanita
Mereka yang mengharamkan seni peran mengatakan bahwa dalam aktifitas teater atau produksi film, sulit dihindari adegan yang membuka aurat, baik laki-laki mau pun perempuan. Padahal haram hukumnya seorang perempuan muslimah tampil di panggung dengan aurat terbuka, sementara dia memerankan karakter wanita kafir yang biasanya tampil tidak menutup auratnya.
Di dunia film malah lebih parah lagi, nyaris hampir tidak pernah ada produksi film yang tidak menampilkan adegan seks yang bukan suami istri, baik di dalam film itu atau pun di luar film. Maksudnya, karakter yang mereka mainkan di dalam film itu melakukan hubungan seksual padahal di dalam cerita itu mereka bukan pasangan yang halal. Dan di luar film pun mereka juga bukan suami istri.
Kalau pun di dalam film mereka memerankan tokoh suami istri, dan di luar film mereka betul-betul pasangan suami istri yang sah, tetap saja haram. Sebab adegan seks antara suami istri haram dilakukan di tempat terbuka, apalagi di atas penggung atau di layar film. Suami istri hanya boleh melakukan hal itu di dalam tempat yang tertutup tanpa ada seorang pun yang bisa melihatnya.
E. Pendapat Yang Menghalalkan
Pendapat yang menghalalkan berargumentasi bahwa seni peran bila memang melakukan hal-hal yang disebutkan di atas, hukumnya memang haram. Tetapi seni peran bisa tetap ada dan eksis dengan tidak harus selalu tampil demikian.
Artinya dalam pendapat mereka, bila hal-hal yang terlarang di atas bisa diantisipasi, seperti tetap menjaga waktu-waktu shalat, atau laki-laki tidak memerankan perempuan dan sebaliknya, maka ‘illat keharamannya bisa dihilangkan, tanpa menghilangkan seni perannya yang memang punya dasar di dalam syariah.
1. Tidak Sepenuhnya Dusta
Kalau dikatakan seni peran itu penuh dusta, sekilas memang kelihatannya demikian. Tetapi kalau kita teliti apa makna dan hakikat dari dusta itu sendiri, sebenarnya dusta dalam seni peran boleh dibilang dusta yang tidak seperti dusta pada umumnya.
Mengapa demikian?
Karena dusta di dalam seni peran itu adalah dusta yang diketahui semua orang, dimana semua orang tidak merasa dirugikan sedikit pun dengan dusta itu. Semua penonton tahu bahwa seorang aktor memang sedang memerankan suatu karakter tertentu, dimana dia hanya berpura-pura saja, yang kepura-puraannya itu sama dimengerti dan dipahami oleh semua orang.
Ibarat pemain sulap yang pandai memainkan berbagai trik sulap sehingga mengecoh penonton. Kecepatan gerakannya serta berbagai trik itu pada dasarnya hanya tipuan belaka. Pesulap bukan orang yang melakukan hal-hal yang ghaib, semua masuk akal dan logis, hanya saja semua trik itu disembunyikan sedemikian rupa. Apakah kita akan mengatakan dia telah berdusta?
Jawabnya tentu tidak. Justru orang-orang datang membeli tiket untuk melihat bagaimana diri mereka ‘dibohongi’. Tetapi bohong disini adalah bohong yang mereka sukai, dalam arti mereka tidak merasa dirugikan kalau dibohongi.
2. Meniru Tokoh Kafir
Urusan meniru peran orang kafir yang bertingkah menghina dan mengejek agama Islam, atau melakukan adegan yang terlarang seperti pura-pura mabuk, atau melakukan adegan-adegan yang tidak sesuai dengan akhlaq dan pribadi seorang muslim, memang oleh para ulama banyak diharamkan, walau pun judulnya hanya pura-pura saja.
Memang masalah ini agak rumit, karena kepura-puraan itu seharusnya berbeda jauh dengan aslinya. Maksudnya, orang yang berpura-pura mabuk tentu sama sekali tidak bisa dibilang dia mabuk. Dan orang yang pura-pura menjadi tokoh non muslim seharusnya juga tidak boleh dikatakan dia telah menjadi kafir. Toh semua itu akting belaka, semua orang tahu hal itu.
Akan tetapi bagaimana bila adegan seperti itu dilakukan bukan sebuah kepura-puraan?
Misalnya, peran sebagai tokoh orang kafir itu memang benar-benar dimainkan oleh orang kafir sungguhan. Adegan mabuk yang seandainya tidak boleh dimainkan oleh seorang muslim, dimainkan oleh orang kafir yang mana mereka tidak dilarang minum khamar dan mabuk.
Sumber terkait admin ambil dari
http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=271

No comments:

Post a Comment

Police Story

Perampokan Bank S uatu pagi yang cerah dengan titik matahari yang sangat indah di ufuk timur bandung ini, terdengar suara yang mengg...