Ini merupakan tokoh pahlawan nasional dari Indonesia yang
berjuang untuk tanah air tercintanya yang memperjuangkan dalam perang yang kita
kenal dengan perang jawa atau perang Diponegoro dan bermarkas di sebuah gua
yang bernama gua selarong. Selama perang ini mengakibatkan pihak dari kolonial
Belanda mengalami kerugian sebesar 20 juta gulden.
Sampai berbagai cara di upayakan pihak kolonial Belanda
untuk menangkap tokoh yang satu ini Bahkan hingga sayembara untuk menangkapnya
hidup-hidup dengan hadiah sebesar 50.000 gulden.
Pada puncak peperangan pihak kolonial belanda mengerahkan
23.000 tentara serdadu sungguh tidak bisa dibayangkan dengan luas daerah
Yogyakarta, dan sebagian jawa timur di jaga oleh puluhan ribu tentara serdadu.
Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama
yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik
metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya
(guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan
penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang
memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang
ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui
insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan
mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun
1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran
Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota
laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan
penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa atau
Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus
melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran
Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam
peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Berakhirnya
Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah
perang ini jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi
sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke
Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubowono IXmemberi amnesti bagi
keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai
Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton,
terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Penyerahan Pangeran Diponegoro
kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830 yang
mengakhiri Perang Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.
- 20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan
Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang
masuk wilayah Kabupaten Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kangjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam
dulu di Menoreh sambil
menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Pangeran Diponegoro Menghadap ke depan
Pangeran Diponegoro Menghadap ke samping
sumber terkait.
https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro
No comments:
Post a Comment