Kyai Madja
Tokoh kyai madja adalah tokoh pembantu dalam perang jawa
atau perang Diponegoro,
Kyai Madja adalah
seorang ulama dari Jawa Tengah yang menentang gerakan
pemurtadan di kalangan bangsawan dan sultan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahan.[1] Kyai Madja lahir pada tahun
1792 dan memiliki nama asli Muslim Mochammad Khalifah.[1]
Keluarga[sunting | sunting sumber]
Kyai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A
Mursilah.[1] Ayah Kyai Madja adalah seorang
ulama di desa Baderan dan Modjo.[1] Desa tersebut berada di daerah
Pajang dan merupakan tanah pemberian Raja Surakarta.[1] Ibu Kyai Madja, R.A Mursillah,
merupakan saudara perempuan Sri Sultan Hemangkubuwono III.[1] Meskipun ibunya seorang ningrat
keraton, Kyai Madja dibesarkan di luar keraton.[1]
Kehidupan[sunting | sunting sumber]
Pada 17 November 1828, terjadi penangkapan di desa Kembang Arum, Jawa Tengah oleh Belanda.[1] Kyai Madja dibawa dan
diasingkan ke Batavia kemudian diasingkan kembali ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.[1] Selama masa pengasingannya,
Kyai Madja mendirikan kampung Jawa Tondano di Minahasa dan menjadi awal
masuknya Agama Islam di Minahasa.[1] Di Tondano ia menyalurkan ilmu
kesaktiannya yaitu ilmu kanugaran yang
dipelajarinya di Ponorogo, kepada
pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri.[1] Ilmu bela diri ini lah yang
kemudian menjadi cikal bakal pencak silat.[1] Kyai Madja wafat di tempat
pengasingan pada tanggal 20 Desember 1849 diusia 57 tahun.[1]
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat
simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro
menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas
hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh
agama di Surakarta, Kyai Maja,
ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangan Pangeran
Diponegoro ini didukung oleh Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya
Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari
15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap
Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan
kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap
pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan
pasukan-pasukan infanteri, kavaleri,
dan artileri—yang
sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam
pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front
pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda
pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh
pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari
satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang
mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir
bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun
stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu,
kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi
yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Infanteri merupakan pasukan tempur darat utama
yaitu pasukan berjalan kaki yang dilengkapi persenjataan ringan, dilatih dan
disiapkan untuk melaksanakan pertempuran jarak dekat. Infanteri berasal dari
kata infant yang berarti kaki, biasanya untuk menggambarkan
para tentara muda yang berjalan kaki di sekeliling para kesatria yang
menunggang kuda atau kereta. Oleh karena itu seorang infanteri harus memiliki
kemampuan berkelahi, menembak, dan bertempur dalam segala medan dan cuaca.
Pasukan infanteri modern dapat diangkut ke daerah pertempuran dengan pesawat terbang, kapal/perahu, truk, kendaraan lapis baja, atau helikopter.
Kavaleri berasal dari bahasa Latin caballus dan bahasa Perancis chevalier yang berarti
"kuda". Awalnya istilah kavaleri mengacu kepada pasukan khusus
berkuda, namun dalam perkembangan zaman, kavaleri bertempur dengan menggunakan kendaraan lapis baja. Pasukan kavaleri berperan sebagai satuan yang
mampu bergerak cepat dan mobile sekaligus berfungsi sebagai penyerang
pendadakan atau pendobrak yang akan membuka jalan bagi pasukan infanteri.selain
itu pasukan kavaleri pada dulunya (zaman phalanx dan legion) juga dianggap sebagai pasukan elit yang mampu mendobrak
baris pertahan musuh dengan cepat dan mematikan. sebab lain pada masa itu hanya
kaum bangsawan, tuan tanah, dan para ksatria yangBOLEH dan mampu
membeli kuda. Dari informasi sejarah terdahulu kavaleri memiliki keunggulan di
mobilitas. Pada abad pertengahan kuda sangat banyak dan di manfaatkan oleh
bangsa Mongolia. Oleh karena itu taktik yang digunakanya hit&run sangat
mematikan hal ini dibantu oleh kecakapan orang Mongolia yang ahli memanah
sambil mengendarai kuda untuk menaklukkan musuh. Dizaman modern fungsi kavaleri
mulai berkurang dibandingkan perang dunia ke 2 di mana saat ini mulai banyaknya
digunakan helikopter serang yang memiliki kelebihan yang lebih dibandingkan
tank atau IFV sehingga tank lebih rawan apalagi ditambah infanteri yang bisa
menghancurkan tank dengan senjata antitank.namun demikian tank tetap penting
dalam mesan perang untuk memberikan efek kejut maupun perlindungan. Biasanya
tank di ikuti oleh barisan infanteri yang menjaganya kombinasi antara tank dan
infanteri tank baik bisa menghasilkan serangan yang mematikan.
Artileri secara umum merupakan sebutan untuk kesenjataan
(persenjataan), pengetahuan kesenjataan, pasukan serta persenjataannya sendiri
yang berupa senjata-senjata berat jarak jauh.
Kyai Madja menghadap Kedepan
Kyai Madja menghadap Kesamping
Kyai Madja menghadap Perspektif
Referensi :
No comments:
Post a Comment