B. METODE ORAL TRADISI
Selama ini, pengajaran kacapi sebagai
waditra pokok dalam penyajian kawih dan tembang Sunda dilakukan dengan metode
oral tradisi tanpa menggunakan sistem notasi atau partitur, karena waditra
tersebut lebih berkembang di luar dunia pendidikan atau sekolah-sekolah.
Sehingga, metode oral tradisi menjadi warisan dari generasi ke generasi. Tentu
saja, metode itu pun dapat diakui berhasil dalam proses pengajaran di luar
dunia pendidikan, karena materi ajar kacapi memiliki kompleksitas tersendiri
yang sangat sulit untuk dinotasikan. Akan tetapi, lain hal dengan dunia
pendidikan, dimana diperlukan adanya suatu pengembangan pemikiran bahwa sesulit
apapun materi ajar, harus dapat diajarkan dengan menggunakan notasi. Bahkan
diharapkan, dengan pengembangan metode 5 peserta didik dapat belajar sendiri di
luar proses pengajaran meskipun akhirnya harus tetap bertatap muka demi
kesempurnaan materi ajar. Kelemahan yang ditemukan dalam metode oral tradisi,
pertama, memungkinkan terjadinya pengurangan dan menghilangnya karya-karya yang
terdahulu disebabkan tidak adanya dokumentasi yang jelas. Artinya, dengan oral
tradisi hanya mengandalkan memori manusia untuk mengingatnya. Mengenai hal ini,
kita dapat mengambil contoh dengan karya-karya dari barat yang dibuat pada
zaman renaissance, zaman barok, zaman klasik dan zaman romantik sampai
sekarang, masih ada dokumentasinya sehingga banyak orang dapat mempelajarinya,
bahkan sampai mendunia. Meskipun memiliki perbedaan dalam hal sejarah dan
budaya, tidak ada salahnya apabila kita pun mencoba untuk mendokumentasikan
karya-karya kawih atau tembang Sunda, dengan cara menotasikan dan sekaligus
mengggunakannya untuk metode pengajaran, demi kelestarian karya-karya dalam
kesenian tersebut. Kedua, metode oral tradisi dalam pelaksanaannya hanya dapat
dilakukan oleh beberapa kalangan saja, sehingga waditra kacapi kurang diminati
oleh banyak orang. Hal tersebut, merupakan salah satu hal yang telah
menyebabkan waditra kacapi menjadi waditra yang minoritas. Padahal, dalam
permainan kacapi terdapat keistimewaan tersendiri seperti puspa ragam teknik
yang cukup sulit dikuasai, sehingga dapat bersaing dengan instrumen-instrumen
barat. Oleh karena itu, di zaman yang telah 6 mengglobal ini, sebagai salah
satu upaya pelestarian diperlukan adanya metode lain agar waditra kacapi dapat
dipelajari oleh semua kalangan. Ketiga, metode oral tradisi juga dapat dinilai
kurang efektif dan efisien. Artinya memerlukan waktu yang cukup lama untuk
sampai kepada tahap peserta didik dapat memainkan waditra kacapi, sedangkan zaman
sekarang orang-orang cenderung berkeinginan untuk mempelajari instrumen secara
cepat dan praktis. Dalam permainan kacapi, tentu saja terdapat tahapan-tahapan
untuk mencapai kepada tingkat yang paling tinggi, akan tetapi dalam proses
pembelajaran bukan berarti harus langsung menuju tingkatan tersebut, namun
proses awalnya yang sangat perlu untuk diperhatikan agar peserta didik dapat
belajar secara cepat sehingga akhirnya akan mempermudah untuk mencapai
tingkatan tinggi. Hal lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah sudah saatnya
pembelajaran waditra kacapi menggunakan sistem notasi yang dapat dipahami olah
semua kalangan. Tujuannya, dengan adanya sistem notasi diharapkan waditra
kacapi dapat lebih dikenal oleh banyak orang, tidak hanya satu daerah tapi
secara nasional bahkan internasional. Seperti pengaruh musik tradisi barat yang
cukup kuat di negara Indonesia, di antaranya dengan banyaknya partitur-partitur
musik barat yang dapat dipelajari oleh banyak kalangan. Terakhir, dalam
perkembangannya sampai sekarang, dinilai kurangnya referensi tentang metode
pembelajaran waditra kacapi. Oleh karena itu, untuk menambah referensi tersebut
maka diperlukan adanya metode-metode lain yang dapat memperkaya, mempercepat,
serta membantu mempermudah pembelajaran waditra kacapi, khususnya di kalangan
dunia pendidikan dan umumnya di semua kalangan. Setelah memperhatikan beberapa
permasalahan tersebut, maka penulis mencoba untuk menggunakan metode pengajaran
dengan membuat sebuah metode pembelajaran kacapi menggunakan sistem
notasi.
C. PROSES PEMBELAJARAN
Dalam proses pembelajarannya, teori yang
digunakan adalah teori belajar konstruktivisme, khususnya konstruktivisme
radikal. Dalam hal ini, seperti yang dikemukakan oleh Von Glasersfeld,
konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang
dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita (Suparno, 1997:26). Artinya,
pembelajaran lebih menitik beratkan pada keaktifan peserta didik, dengan
mengutamakan pengalaman sebagai salah satu cara untuk memperoleh atau membentuk
perkembangan pengetahuannya. Oleh karena itu, dalam cara ini pengetahuan dapat
lebih cepat dikonstruksi oleh penerima yang aktif, dan akan berbeda apabila
ditransfer kepada penerima yang pasif. Sedangkan pendidik, merupakan mediator
dalam proses mentransmisikan pengetahuan. Dalam hal ini, Jean Piaget
mengemukakan, karena pendidikan merupakan suatu proses yang menghubungkan dua
sisi, “di satu sisi, individu yang sedang tumbuh, dan di sisi lain, nilai
sosial, intelektual, dan moral”. Maka, menjadi tanggung jawab pendidiklah untuk
mendorong individu pada sisi kedua tersebut (Palmer, 2006:75). Oleh karena itu,
pendidik memiliki peran yang cukup kompleks dalam proses pembelajaran. Selain
sebagai pentransmisi pengetahuan, juga berperan sebagai pengubah perilaku
(behaviour changes) peserta didik, dan pemelihara sistem nilai atau nilai-nilai
dari pengetahuan (Makmun, 2000:23). Proses pembelajaran ini, dalam
pelaksanaannya juga didasarkan pada cara belajar cepat (accelerated learning).
Artinya, dalam proses pembelajaran tersebut peserta didik dituntut untuk lebih
cepat memahami dan menguasai materi ajar. Seperti yang dikemukakan oleh Colin
Rose & Malcolm J. Nicholl, untuk menguasai perubahan yang berlangsung cepat
dibutuhkan pula cara belajar cepat, yakni kemampuan menyerap dan memahami
informasi baru dengan cepat, serta menguasai informasi tersebut (Rose &
Nicholl, 2006:35). Dalam hal ini, pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
teknik-teknik yang cocok dengan gaya belajar para peserta didik, yaitu belajar dengan
cara yang paling alamiah. Karena, belajar dengan cara yang alamiah menjadi
lebih mudah, dan yang lebih mudah menjadi lebih cepat.
D. TAHAPAN PEMBELAJARAN
Berkaitan dengan tahapan-tahapan
pembelajaran, dalam pelaksanaannya peserta didik belajar melalui beberapa fase.
Secara global, pembelajaran terbagi ke dalam tiga fase, yaitu: 1. Fase
eksplorasi. 2. Fase pengenalan konsep. 3. Fase aplikasi konsep. Menurut Dimyati
& Mudjiono, dalam fase eksplorasi siswa mempelajari gejala dengan bimbingan.
Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan
gejala. Sedangkan dalam aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk
meneliti gejala lain lebih lanjut (Dimyanti & Mudjiono, 2006: 14). Dalam
hal ini, peserta didik dituntut untuk dapat menguasai konsep, serta memiliki
kepekaan dalam menemukan gejala-gejala yang terjadi dalam proses pembelajaran.
Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya, penulis mencoba untuk menggunakan
langkah-langkah pembelajaran yang ditawarkan oleh Piaget1 , yaitu: 1.
Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh peserta didik. 2. Memilih atau
mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut. 3. Mengetahui adanya
kesempatan bagi pendidik untuk mengemukakan pertanyaan yang menunjang proses
pemecahan masalah. 1 Lihat Dimyanti & Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran
(2006:14). 4. Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan,
dan melakukan revisi. Setelah melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan
peserta didik dapat membentuk pengetahuan secara cepat, efektif, dan efisien,
serta memiliki pengalaman tersendiri, yakni pengalaman estetis. Karena, pada
dasarnya dalam pendidikan seni khususnya seni musik, peserta didik dituntut
agar dapat memiliki pengalaman estetis. Seperti yang dikemukakan oleh Keith
Swanwick, bahwa pendidikan musik adalah pendidikan estetik, dan mendengarkan
musik adalah suatu bagian dari pengalaman estetik (Ellliot, 1995:28). Oleh
karena itu, pengalaman estetik merupakan suatu hal yang mutlak didapatkan oleh
para peserta didik sebagai bagian dari pendidikan musik. Bahkan, Bennett Reimer
berpandangan bahwa musik sama dengan kumpulan objek atau kerja seni. Ikhwal
rhythm, melodi, harmoni, warna suara (termasuk dinamika), tekstur dan bentuk
merupakan estetik atau elemen ekspresi dari musik (Elliot, 1995: 28).
E. PRINSIP REAKSI
Dalam hal ini, prinsip reaksi diartikan
sebagai pola kegiatan yang memperlihatkan hubungan guru dan siswa dalam proses
pembelajaran. Oleh karena itu, pola kegiatan tersebut dapat ditinjau dari
beberapa aspek, seperti yang dikemukakan oleh Dimyanti & Mudjiono, yakni
dilihat dari perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan
langsung/berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta
perbedaan individual (2006:42). 1. Perhatian dan Motivasi Perhatian merupakan
bagian yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Karena, tanpa perhatian
dari peserta didik proses pembelajaran akan berjalan secara semu. Artinya,
materi ajar tidak akan tersampaikan dengan baik dan tuntas. Seperti yang
dikemukakan oleh Stern dan dikutip oleh Bigot, pertama, perhatian adalah
pemusatan tenaga/kekuatan jiwa tertuju kepada suatu objek. Kedua, perhatian
adalah pendayagunaan kesadaran untuk menyertai sesuatu aktivitas yang dilakukan
(Sagala, 2006:130). Oleh karena itu, keberhasilan pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh perhatian peserta didik. Jika tidak ada perhatian, jangankan
mengkontruksi pengetahuan, memahami materi ajarnya saja akan sulit. Sedangkan
motivasi lebih berkaitan dengan minat peserta didik dalam mengikuti proses
pembelajaran. Artinya, peserta didik akan lebih cepat membentuk pengetahuan
jika mereka memiliki motivasi yang besar dalam mengikuti pembelajaran.
Biasanya, dalam hal motivasi tergantung kepada kebutuhan, suka dan tidak suka,
faktor pengajar, dan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi psikologi peserta
didik terhadap materi yang diajarkan. Dalam hal ini, Dimyanti & Mudjiono
membaginya ke dalam dua motif, yaitu motif intrinsik dan motif ekstrinsik
(2006:43).
Motif intrinsik adalah tenaga pendorong
yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan, sedangkan motif ekstrinsik adalah
tenaga pendorong yang ada di luar perbuatan yang dilakukannya tetapi menjadi
penyertanya. Sebagai cara untuk membangkitkan motivasi tersebut, maka dalam
proses pembelajarannya akan mencoba menggunakan cara seperti yang ditawarkan
oleh Sagala. Pertama, mempersiapkan untuk menggunakan cara atau metode dan
media mengajar yang bervariasi. Kedua, merencanakan dan memilih bahan yang
menarik minat dan dibutuhkan siswa. Ketiga, memberikan sasaran antara, sasaran
akhir belajar adalah lulus ujian atau naik kelas. Keempat, memberikan
kesempatan untuk sukses, artinya materi ajar disesuaikan dengan kemampuan
peserta didik yang berbeda-beda. Kelima, diciptakan suasana belajar yang
menyenangkan, dengan suasana familiar. Keenam, adakan persaingan sehat, atau
kompetisi sehat yang dapat membangkitkan motivasi belajar (Sagala, 2006:153).
2. Keaktifan Sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang menuntut adanya
keaktifan dari peserta didik, maka dalam proses pembelajaran kacapi peserta
didik dituntut untuk lebih aktif. Karena pembelajaran kacapi berbentuk praktek,
maka keaktifan peserta didik dapat terlihat dalam mempelajari dan mempraktekan
kacapi tersebut. Dalam hal ini, meskipun keaktifan praktek terletak pada aspek
fisik, namun secara psikis juga sangat diperlukan. Seperti memecahkan masalah
dalam menyatukan tangan kanan dan tangan kiri dalam bermain kacapi. Jika
peserta didik kurang aktif dalam kedua aspek tersebut, maka proses pembelajaran
akan berlangsung lebih lama. 3. Keterlibatan Langsung Maksud dari keterlibatan
langsung adalah bahwa peserta didik langsung mengalami dalam hal proses
pembelajaran. Karena pembelajarannya kacapi, maka peserta didik harus memainkan
atau mempraktekan secara langsung bagaimana mempelajari dan memainkan instrumen
tersebut. Seperti yang telah disebutkan, dari pengalaman inilah peserta didik
mendapatkan pengalaman estetik, dan justru hal inilah yang paling penting dan
mendasar dalam pendidikan musik. Jadi, peserta didik tidak hanya melihat,
mendengarkan, atau mengamati saja, tapi langsung ikut terlibat. 4. Pengulangan
Berdasarkan pada teorinya Thordike tentang psikologi asosiasi atau
koneksionisme, bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan
respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang
timbulnya respon yang benar. Seperti kata pepatah “latihan menjadikan sempurna”
(Dimyanti & Mudjiono, 2006:46). Maka, dalam pembelajaran kacapi peserta
didik dikondisikan untuk terus melakukan latihan dan pengulangan, agar materi
yang dipelajari bertambah sempurna. Namun, hal tersebut disesuaikan dengan
waktu pembelajaran yang telah direncanakan, dan yang lebih tepat untuk banyak
melakukan latihan dan pengulangan adalah di luar waktu pembelajaran formal. 5.
Tantangan Untuk membantu menumbuhkan motif pada peserta didik, maka diperlukan
materi ajar yang menantang, namun tetap disesuaikan dengan kemampuan para
peserta didik. Karena, terlalu menantang tidak baik terhadap psikologi peserta
didik. Artinya, jika materi yang diberikan tidak sesuai dengan kemampuannya,
maka dapat menimbulkan perasaan frustasi dalam mempelajari kacapi, yang
akhirnya menimbulkan rasa malas. Begitupun sebaliknya, jika materi yang
diberikan terlalu mudah dan statis, artinya yang diberikan hanya itu-itu saja,
maka peserta didik akan merasa bosan. 6. Balikan dan Penguatan Dalam hal ini,
balikan dan penguatan dapat menjadi dorongan bagi peserta didik. Sebagai
contoh, mendapatkan hasil yang baik dalam mempelajari kacapi dapat menjadi
balikan yang menyenangkan, dan dapat berpengaruh baik terhadap usaha belajar
selanjutnya. Sedangkan penguatan, dapat berupa penguatan positif dapat juga
berupa penguatan negatif. Misalnya, dengan hasil belajarnya peserta didik mampu
memainkan kacapi dengan baik, sehingga mendapatkan nilai ujian yang bagus.
Maka, nilai bagus tersebut dapat menjadi penguatan yang positif. Sebaliknya,
jika mendapatkan hasil ujian yang tidak bagus, maka dapat menjadi penguatan
yang negatif. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Dimyanti & Mudjiono,
kegiatan balikan dan penguatan dapat dilakukan dengan cara tanya jawab,
diskusi, eksperimen, metode penemuan, dan sebagainya (2006:49). Sehingga,
peserta didik akan terdorong kembali untuk lebih giat dan bersemangat. 7. Perbedaan
Individual Dalam upaya menanggulangi perbedaan kemampuan pada peserta didik,
maka guru dapat memberikan tambahan atau pengayaan pelajaran bagi peserta didik
yang pandai. Sedangkan untuk anak-anak yang kurang pandai, dapat dilakukan
dengan memberikan bimbingan belajar, dengan demikian, mereka dapat terus
terdorong untuk lebih berpikir optimis, dan tetap bersemangat dalam mempelajari
kacapi.
F. SISTEM NOTASI KACAPI
Mengingat perkembangan zaman yang begitu
pesat, metode pembelajaran kacapi dengan menggunakan sistem notasi memang sudah
saatnya diluncurkan, disosialisasikan, serta diuji coba, terutama dalam
mengantisipasi paradigma pembelajaran yang baru, yang memiliki indikasi
sifat-sifatnya yang efektif dan efisien dalam prosesnya (Herdini, 2003). Oleh
sebab itu, penulis mencoba membuat metode yang diharapkan memiliki efektifitas
dan efisiensi waktu dalam proses pembelajarannya, yakni dengan membuat sebuah
metode pembelajaran kacapi dengan menggunakan sistem notasi. Panduan sistem
notasinya adalah sebagai berikut: 1. Diagram Kawat Kacapi Sebagai pengenalan,
kacapi yang akan digunakan yakni kacapi yang memiliki jumlah kawat utas (kacapi
tembang Sunda). Perhatikan gambar di bawah ini. Secara keseluruhan dapat
dilihat bahwa garis yang digunakan berjumlah 11 (sebelas) garis, terdiri dari
dua bagian yaitu garis dan spasi. Garis dan spasi tersebut dibagi menjadi empat
kelompok, dengan jumlah tiga kelompok masing-masing memiliki tiga garis dan dua
spasi, satu kelompok memiliki dua garis dan satu spasi. Di antara kelompok yang
satu dengan yang lainnya terdapat satu spasi yang difungsikan sebagai spasi
pembatas. Tanpa menghitung spasi pembatas, garis dan spasi tersebut berjumlah
18 (delapan belas). Hal ini sesuai dengan jumlah kawat kacapi tembang Sunda
yang berjumlah 18 (delapan belas) utas. Artinya, sistem pengelompokan
garis dan spasi tersebut telah diselaraskan dengan sistem bunyi pada kacapi
tembang Sunda. Cara penerapannya, setiap kelompok terdiri dari nada 1 (da), 2
(mi), 3 (na), 4 (ti) dan 5 (la), dengan dimulai dari bawah, kecuali kelompok
keempat hanya sampai nada 3 (na). Secara keseluruhan nada dimulai dari yang
paling tinggi (high) sampai yang paling rendah (low), hal ini sesuai dengan
urutan nada pada kacapi tembang Sunda. Seperti telah disebutkan di atas,
kelompok paling bawah disebut dengan rakitan petit (oktaf tinggi), kelompok
kedua disebut rakitan galindeng (oktaf sedang), kelompok ketiga disebut rakitan
gentem (oktaf rendah), dan kelompok keempat disebut rakitan goong (oktaf paling
rendah)2 . Agar lebih jelas cara penerapan struktur nada pada sistem notasi di
atas, perhatikan gambar berikut. Untuk keterangan penggunaan jari dalam sistem
notasi kacapi ini tidak menggunakan istilah Kanan (Ka) dan Kiri (Ki), tapi
dengan menggunakan perbedaan warna pada not-nya. Untuk tangan kanan menggunakan
warna hitam, dan untuk tangan kiri menggunakan warna 2 Istilah rakitan petit,
rakitan galindeng, rakitan gentem, dan rakitan goong diambil dari buku belajar
nembang karangan Rd. Ace Hasan Su’eb tahun 1997. 18 merah. Hal ini dimaksudkan
untuk mempermudah dalam teknik membaca notasi. Apabila dalam partitur hanya ada
not yang berwarna hitam, maka partitur tersebut hanya dimainkan oleh tangan
kanan, dan apabila dalam partitur terdapat not yang berbeda warna, maka partitur
tersebut dimainkan oleh dua tangan. Untuk lebih jelasnya perhatikan notasi
berikut ini. Contoh 1: Contoh 2: Seperti terlihat di atas, penulisan melodi
pirigan menggunakan kaidah-kaidah notasi balok, baik bentuk dan durasi not
maupun bentuk dan
durasi tanda istirahat. Hal ini bertujuan
agar notasi dapat dikenal dan mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Sebagai
contohnya, di bawah ini dicantumkan beberapa jenis not dan tanda istirahat
berikut durasinya seperti ditulis oleh Zinn dan Hogenson (1987:19). Dengan
memerhatikan paparan di atas, dapat diketahui bahwa perbedaan yang cukup
signifikan antara sistem notasi kacapi ini dengan sistem notasi kacapi yang
telah ada, antara lain terletak pada: (1) penggunaan simbol. Sistem notasi
sebelumnya hanya menggunakan angkaangka dari 1 (da) sampai 5 (la) berikut harga
nadanya, sedangkan sistem notasi ini menggunakan notasi damina yang dilengkapi
dengan simbolsimbol sebagaimana notasi balok pada umumnya. Artinya, Anda tetap
membaca notasi dengan bunyi da-mi-na-ti-la, namun secara visual dibantu dengan
simbol-simbol not balok. Hal ini dimaksudkan dan diharapkan agar lebih mudah
diakses atau dipelajari oleh semua kalangan. (2) perubahan tampilan notasi.
Dalam sistem notasi terdahulu notasi disajikan secara horizontal, sementara
dalam sistem notasi ini disajikan secara horizontal dan vertikal. Dari segi
visual, hal ini dapat membantu mempermudah dalam membaca notasi kacapi, karena
terlihat jelas persamaannya antara struktur kawat kacapi dengan sistem notasi
yang digunakan, yaitu berurutan dari bawah ke atas (vertikal). Dengan sistem 20
notasi ini, Anda dapat mengetahui mana kawat yang dimainkan dan mana kawat yang
tidak dimainkan. (3) perubahan jumlah garis. Pada sistem notasi terdahulu,
jumlah garis not untuk kacapi tembang Sunda berjumlah 18 garis sesuai dengan
jumlah kawat kacapi, namun pada sistem notasi ini berubah menjadi 11 garis, dan
sisanya yang berjumlah 7 dipindahkan ke dalam spasi. Pengurangan jumlah garis
ini setidaknya dapat mengurangi tingkat kesulitan dalam upaya membaca notasi
kacapi. 2. Contoh Bahan Pembelajaran Kacapi Melalui Penerapan Sistem Notasi
Tabuhan Bubuka Laras Pelog
G. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa untuk pengembangan pembelajaran kacapi diperlukan upaya nyata
dalam menciptakan inovasi-inovasi dalam cara-cara pengajarannya. Oleh karena
itu, sebagai langkah awal, sistem notasi yang ditawarkan alangkah bijaknya jika
diaplikasikan setidaknya sesuai dengan tahapan-tahapan belajar yang dianjurkan,
atau lebih baik jika dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah dan
peserta didik. Namun yang jelas, metode pembelajaran kacapi dengan menggunakan
sistem notasi (literasi) ini bertujuan untuk mempermudah dan mengefisienkan
waktu pembelajaran yang biasanya menggunakan metode oral tradisi (oraliti). Dan
dapat dilihat dengan jelas pula, bahwa sistem notasi kacapi yang digunakan
telah mengalami perubahan dari sistem notasi kacapi yang terdahulu, terutama
dalam tampilan atau visualisasi sistem notasi.
sumber
http://file.upi.edu/Direktori/KD-SUMEDANG/198205132008121002-JULIA/Makalah%20Seminar/Metode_Pembelajaran_Kacapi.pdf
No comments:
Post a Comment