Laksamana TNI (Anumerta) Raden
Eddy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Maret 1921 – meninggal
di Riung
Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun), atau yang lebih
dikenal dengan nama R. E.
Martadinata, adalah tokoh ALRI dan pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat
kecelakaan helikopter di Riung
Gunung[1] dan
dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Pendidikan awal[sunting | sunting sumber]
1. Sekolah Dasar HIS di Lahat lulus
pada tahun 1934,
2. Sekolah Menengah Pertama MULO - B di Bandung
lulus pada tahun 1938,
3. Sekolah Menengah Atas AMS di Jakarta lulus
pada tahun 1941
4. Sekolah Pelayaran Zeevaart
Technische School tidak sempat menyelesaikan karena pendudukan
Jepang.
5. Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan
Jepang sampai ia diangkat sebagai nakhoda kapal latih Dai28 SakuraMaru.
6. Bergabung dengan Angkatan Laut Republik
Indonesia tahiun 1945
Perjuangan[sunting | sunting sumber]
Ia menghimpun pemuda bekas siswa
Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beberapa buah kapal milik Jepang
di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor di Tanjung
Priok dan Jalan Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR,
pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta
pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinasi oleh M. Pardi, Adam,
Martadinata, Surjadi Untoro, dan lain-lain, membentuk BKR Laoet Poesat yang
dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laoet, diubah lagi menjadi TRI Laoet
dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.
Berbagai penugasan yang pernah diemban
selama berkarier di Angkatan Laut hingga akhir hayatnya adalah sebagai
berikut :
1. Wakil Komandan BKR Laut Jawa Barat -
Agustus 1945
2. Ajudan Kepala Staf Umum TKR Laut -
Desember 1945
3. Kepala Staf Operasi V MBA (Bagian
Perencanaan) - Maret 1946
4. Komandan Pendidikan Latihan Opsir
Kalibakung (Sarangan, Jawa Timur) - Maret 1947
Ketika menjabat sebagai Kepala Staf
Operasi V (Bagian Perencana), Martadinata mencurahkan perhatian dalam
penyelesaian keruwetan ALRI. Salah satunya adalah soal kedudukan dan pembagian
tugas antara MBU. ALRI di Yogyakarta dengan Markas Tertinggi (MT). ALRI yang
berkedudukan di Lawang, yang dibentuk berdasarkan spontanitas pemuda-pemuda
pelaut di Jawa Timur ia menginginkan agar perwira-perwira senior di Yogyakarta
dan di Lawang dapat menyatukan diri dalam wadah Markas ALRI yang tunggal.
Januari 1947 dibentuk Dewan Angkatan Laut (DAL) yang diserahi tugas
menyelesaikan masalah tersebut.
Mendirikan SAL dan Kepala Pendidikan
Latihan[sunting | sunting sumber]
Penugasan berikutnya adalah mendirikan
Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Kalibakung, Tegal dan dilanjutkan dengan
penugasan sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan, Magetan tahun 1948
yang kemudian dikenal dengan nama Special Operation (SO). Martadinata diberi
tugas oleh KSAL Subijakto untuk menyelenggarakan sekaligus memimpin SO karena
menurut KSAL Subijakto, SO merupakan lembaga pendidikan lanjutan untuk para
perwira laut. Pendidikan tersebut diselenggarakan khusus untuk mempersiapkan
para perwira laut yang akan bertugas memimpin armada kapal-kapal cepat. Kapal
tersebut dirancang bisa menembus blokade Belanda, agar pasukan Republik tetap
memperoleh senjata dan amunisi untuk meneruskan perjuangan dalam mempertahankan
kemerdekaan. Pendidikan SO mengambil tempat di Telaga Sarangan, lereng Gunung
Lawu, Jawa Timur.
Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh[sunting | sunting sumber]
Ketika berlangsung Agresi Militer Belanda II, Ia ditunjuk
sebagai Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh (ALDA)
yang bertugas untuk mengendalikan kegiatan staf yang mencakup dua bidang yakni
melaksanakan pendidikan dan mengkoordinasi kegiatan "Armada
Penyelundup" senjata dari luar negri untuk membantu perjuangan.
Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya dan
Komandan KRI Hang Tuah[sunting | sunting sumber]
Bulan Oktober 1949 ia kembali ke Jawa dan diangkat menjadi
Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya tahun 1950. Saat itu sudah tercapai
gencatan senjata antara RI dan Belanda. Sesuai kesepakatan, Belanda menyerahkan
peralatan perangnya kepada Angkatan Perang RI, salah satu diantaranya Kapal
Perang HrMS
Morotai yang kemudian
diubah namanya menjadi RI Hang Tuah dan
R.E. Martadinata diangkat menjadi Komandannya. RI Hang Tuah merupakan Kapal
Perang terbesar saat itu, digunakan untuk operasi-operasi militer menumpas
pemberontakan gerombolan Andi Azis di Ujung Pandang dan RMS di Maluku.
Tugas belajar[sunting | sunting
sumber]
Martadinata kemudian berkesempatan mengikuti pendidikan United States Navy Post Graduate School di AS pada tahun 1953. Selesai
mengikuti pendidikan di AS, ia mendapat tugas khusus selama tiga tahun
sepanjang tahun 1957-1959 di Italia untuk mengawasi pembuatan 2 kapal korvet kelas Almirante Clemente yang dipesan RI yaitu RI
Soerapati dan RI
Imam Bondjol. Pada kurun waktu tersebut Martadinata juga sekaligus
bertugas mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Yugoslavia. Sekembalinya
dari Italia, ia diangkat menjadi Hakim Perwira pada pengadilan Tentara di Medan
Jakarta dan Surabaya.
Menteri/Panglima Angkatan Laut[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1959, terjadi pergolakan di
dalam tubuh ALRI yaitu adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan KSAL yang
pada saat itu dipimpin oleh Laksamana Madya R. Soebijakto, beberapa perwira
yang dimotori oleh Mayor Laut Yos Soedarso dan
Mayor (KKO) Ali Sadikin (kemudian disebut sebagai Gerakan 1959)
menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan
permohonan penggantian KSAL dengan damai dan tanpa kekerasan.
Pada awalnya Presiden Sukarno tidak
menyetujui permohonan tersebut, namun setelah melihat bahwa gerakan tersebut
mendapat dukungan hampir sebagian besar staf ALRI maka Presiden Soekarno
memanggil Laksamana Madya R. Soebijakto untuk mendiskusikan Gerakan 1959. Dalam
pembicaraan tersebut Presiden menyampaikan rencana penggantian KSAL dan ketika
Presiden menanyakan siapakah calon yang cocok untuk menjadi KSAL maka Laksamana
Madya R. Soebijakto mengusulkan Kolonel Laut R.E. Martadinata sebagai penggantinya
karena dianggap netral. Pada saat itu Martadinata masih memimpin satuan ALRI
mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Italia. Setelah menjabat, maka dengan
sekuat tenaga ia berhasil mendamaikan kembali golongan-golongan yang saling
berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.
Ketika menjabat KSAL yang kemudian
diubah namanya diubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Laut, Angkatan Laut
Republik Indonesia memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifik
seiring dengan meningkatnya konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan
perebutan Irian Barat. Dengan dicanangkannya Trikora, maka ALRI membeli
peralatan tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak antara lain: 1
kapal penjelajah (kelas Sverdlov), 8 perusak
(kelas Skoryy), 8 frigat (kelas Riga), 12 kapal
selam (kelas Whiskey) dan
kapal-kapal pendukung lainnya yang berjumlah hampir lebih dari 100 buah kapal.
Selain itu dibeli pula pesawat pembom torpedo Ilyushin Il-28 seri
Il-28T dan Il-28U, serta helikopter Mil Mi-4.
Pada tahun 1965, terjadi kembali
pergolakan di dalam tubuh ALRI yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan
Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959
yaitu menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan laporan terjadinya
kemerosotan kinerja Angkatan Laut karena dikelola oleh para perwira yang tidak
profesional serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan R.E. Martadinata sebagai
Menteri/Panglima Angkatan Laut. Karena gerakan ini dianggap sebagai pelanggaran
militer dan sesuai saran dari Letnan Jenderal Ahmad Yani yang
ketika itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, maka hampir kurang
lebih 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut di mana termasuk
diantaranya J.E. Habibie (mantan
Dubes RI di Belanda) dan Pongky Soepardjo (mantan
Dubes RI di Finlandia) dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut.
Sikap Martadinata mengenai G30S/PKI[sunting | sunting sumber]
Ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI
tahun 1965, dalam kapasitas sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut, R.E.
Martadinata segera memberikan reaksi mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan
ALRI bekerjasama dengan AD untuk menumpas G30S/PKI.
Tindakannya tersebut ternyata tidak disenangi oleh Presiden Sukarno sehingga
jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot dan digantikan oleh
Laksamana Muda Muljadi. Martadinata kemudian diangkat menjadi duta besar
berkuasa penuh RI untuk Pakistan.
Kepangkatan[sunting | sunting sumber]
1. Kapten (Act) Mayor - 1950
2. Mayor Laut - 1953
3. Letnan Kolonel Laut - 1957
4. Kolonel Laut - 1959
5. Komodor Laut - 1959
6. Laksamana Muda Laut - 1960
7. Laksamana Madya Laut - 1964
8. Laksamana - 1966
Pengabdian terakhir[sunting | sunting sumber]
Dalam rangka menyambut hari ulang tahun
ABRI ke-21, R.E. Martadinata kembali ke Indonesia mendampingi 3 tamu dari
Pakistan yaitu Kolonel Laut Maswar bersama istri serta Nyonya Rouf, istri dari
Deputi I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan. Pada tanggal 6 Oktober 1966,
mereka mengadakan perjalanan menaiki helikopter Alloutte II milik
ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan, yang ternyata
dalam perjalanan menabrak bukit di Riung Gunung. Kecelakaan
tersebut menewaskan seluruh penumpang dan pilot, termasuk Laksamana Laut R.E.
Martadinata. Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional karena pengabdiannya untuk negeri ini.
Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]
R.E. Martadinata menikah dengan
Soetiarsih Soeraputra dikarunia 5 putri 2 putra yaitu :
1. Soehaeny Martadinata
2. Siti Khadijah Martadinata
3. Judiati Martadinata
4. Irzansyah Martadinata
5. Siti Mariam Martadinata
6. Vittorio Kuntadi Martadinata
7. Roswita Riyanti Martadinata
Penghargaan dan tanda jasa[sunting | sunting sumber]
1. Pahlawan Nasional
2. Bintang Sakti
3. Bintang RI Kelas I
4. Bintang Satya Lencana Perang Kemerdekaan
I
5. Bintang Jalasena Kelas I
6. Bintang Mahaputra Kelas V
7. Bintang Satya Lencana Gerakan Operasi
Militer I
8. Bintang Satya Lencana Gerakan Operasi
Militer II
9. Bintang Satya Lencana Satya Dharma
10. Bintang Satya Lencana Wiradharma
11. Bintang Satya Lencana Kesetiaan XVII
tahun
12. Bintang Dharma
13. Bintang Gerilya
14. Bintang Sewindu
Tanda Jasa yang diberikan dari Negara
Sahabat :
1. Bintang jasa Militer Kelas II - Negara
Yugoslavia
2. Bintang Commodatore - Negara Italia
3. The Legion of Commander - Negara Amerika
Serikat
4. Phillipine Legion of Honour tingkat
Commander - Negara Filipina
5. Bintang Kehormatan Kerajaan MuangThai -
Negara Thailand
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/R._E._Martadinata
No comments:
Post a Comment