Oerip Soemohardjo

Jenderal TNI (AnumertaOerip Soemohardjo (EYDUrip Sumoharjo; lahir 22 Februari 1893 – meninggal 17 November1948 pada umur 55 tahun) adalah seorang jenderal dan kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Lahir di PurworejoHindia Belanda, Oerip kecil adalah anak nakal yang sudah memperlihatkan kemampuan memimpin sejak usia dini. Orangtuanya menginginkan dirinya untuk mengikuti jejak kakeknya sebagai bupati, oleh sebab itu, setamat sekolah dasar, ia dikirim ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (OSVIA) di Magelang. Ibunya wafat saat ia menjalani tahun kedua di sekolah, dan Oerip berhenti sekolah untuk mengikuti pelatihan militer di Meester CornelisBatavia (kini Jatinegara, Jakarta). Setelah lulus pada tahun 1914, ia menjadi letnan di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), tentara pemerintah kolonial Belanda. Bertugas selama hampir 25 tahun, ia ditempatkan di tiga pulau berbeda dan dipromosikan beberapa kali, dan akhirnya menjadi perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.
Oerip mengundurkan diri dari jabatannya sekitar tahun 1938 setelah berselisih dengan Bupati Purworejo, tempat ia ditempatkan. Oerip dan istrinya, Rohmah, kemudian pindah ke sebuah desa di dekat Yogyakarta. Di sana, mereka membangun sebuah vila dan kebun bunga yang luas. Setelah Jerman Nazi menginvasi Belanda pada bulan Mei 1940, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Ketika Kekaisaran Jepang menduduki Hindia dua tahun kemudian, Oerip ditangkap dan ditahan di kamp tawanan perang selama tiga setengah bulan. Ia melalui sisa masa pendudukan Jepang di vilanya.
Pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Oerip ditetapkan sebagai kepala staff dan pemimpin sementara angkatan perang yang baru dibentuk. Oerip berupaya untuk menyatukan kekuatan kelompok-kelompok militer yang terpecah-pecah di Indonesia. Pada 12 November 1945, Jenderal Soedirman terpilih sebagai panglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu. Oerip tetap menjabat sebagai kepala staff, dan mereka berdua sama-sama mengawasi pembangunan angkatan perang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Merasa muak atas kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap militer dan manuver politik yang terjadi di tubuh militer, Oerip akhirnya mengundurkan diri pada awal 1948. Mengidap lemah jantung, kondisi kesehatannya memburuk dan ia wafat karena serangan jantung beberapa bulan kemudian. Berpangkat letnan jenderal pada saat kematiannya, Oerip secara anumerta dipromosikan menjadi jenderal penuh. Ia menerima beberapa penghargaan dari pemerintah Indonesia, termasuk gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1964.

Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]

Oerip Soemohardjo lahir dengan nama Muhammad Sidik ("Muhammad Kecil"[1]) di rumah keluarganya di SindurjanPurworejoHindia Belanda, pada tanggal 22 Februari 1893.[2] Ia adalah putra pertama dari pasangan Soemohardjo, seorang kepala sekolah dan putra tokoh Muslim setempat, dan istrinya, [a] putri dari Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, bupati Trenggalek;[4] pasangan ini kemudian memiliki dua putra lagi, Iskandar dan Soekirno,[5] serta tiga orang putri.[6] Putra-putranya sebagian dibesarkan oleh pembantu, dan pada usia muda Sidik mulai menunjukkan kualitas pemimpin, ia memimpin kelompok anak-anak di lingkungannya ketika memancing dan bermain sepak bola. Ketiga saudara ini bersekolah di sekolah untuk suku Jawa yang dikepalai oleh ayah mereka, oleh sebab itu mereka menerima perlakuan khusus. Hal ini menyebabkan mereka menjadi nakal dan berpuas diri.[5]
Pada tahun kedua sekolahnya, Sidik jatuh dari pohon kemiri dan kehilangan kesadaran.[7][8] Setelah sadar, ibunya mengirim surat kepada Widjojokoesoemo, mengungkapkan bahwa nama Sidik adalah penyebab perilaku buruknya.[b] Sebagai balasan, Widjojokoesoemo menyarankan bahwa Sidik harus diganti dengan Oerip, yang berarti "selamat".[11] Saat ia sembuh, keluarganya memutuskan untuk menamainya kembali dengan nama Oerip, meskipun kelakuannya tetap saja buruk. Ia kemudian dikirim ke Sekolah Putri Belanda (Europese Lagere Meisjesschool); sekolah untuk putra sudah penuh dan orangtuanya berharap bahwa sekolah putri akan meningkatkan kemampuan Oerip dalam berbahasa Belanda, juga mengubah temperamennya.[7] Setelah belajar satu tahun di sekolah putri, Oerip menjadi lebih kalem, ia lalu dikirim ke sekolah Belanda untuk putra.[12] Meskipun demikian, nilai akedemiknya tetap buruk.[13] Pada tahun terakhirnya di sekolah dasar, ia sering mengunjungi teman ayahnya, seorang mantan tentara yang pernah bertugas di Aceh selama dua puluh tahun, untuk mendengarkan cerita dari pria tua itu. Hal ini kemudian menginspirasi Oerip untuk bergabung dengan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[14]
Setelah lulus ujian calon pegawai negeri[15] dan persiapan selama beberapa bulan, Oerip pindah ke Magelang pada tahun 1908 untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (Opleidingsschool Voor Inlandse Ambtenaren, atau OSVIA);[16] orangtuanya ingin Oerip menjadi bupati seperti kakeknya.[17] Setahun kemudian, adik-adiknya menyusulnya ke OSVIA.[18] Setelah ibunya meninggal dunia pada tahun 1909, Oerip tenggelam dalam depresi selama berbulan-bulan[6] dan berubah menjadi penyendiri.[19]
Pada tahun terakhirnya di OSVIA, Oerip memutuskan untuk mendaftar ke akademi militer di Meester CornelisBatavia (kini Jatinegara, Jakarta). Ia berangkat ke sana langsung dari Magelang, dan mengatakan kepada adik-adiknya untuk memberitahu ayah mereka, yang tidak setuju dengan pilihan putranya.[6][20] Soemohardjo pada awalnya berusaha untuk membujuk putranya agar kembali ke OSVIA dengan memberinya uang 1.000 gulden, tetapi akhirnya menyetujui pilihan Oerip untuk masuk akademi militer.[21] Setelah pelatihan, yang menurutnya menyenangkan, Oerip lulus dari akademi militer pada bulan Oktober 1914 dan menjadi letnan dua di KNIL.[2][22][23]

KNIL[sunting | sunting sumber]

Setelah mengunjungi ayahnya di Purworejo selama beberapa hari, Oerip kembali ke Meester Cornelis, tempat ia menjabat di Batalion XII.[24] Meskipun ia adalah pria terkecil dan satu-satunya pribumi di unitnya,[25] ia diserahi jabatan pemimpin.[24] Satu setengah tahun kemudian, ia dikirim ke BanjarmasinBorneo.[2][24] Setelah melewati masa-masa berpatroli di belantara Puruk Cahu dan Muara Tewe, ia dikirim ke Tanah Grogot, kemudian ke Balikpapan. Saat ditempatkan di sana, Oerip dipromosikan menjadi letnan satu, namun menghadapi diskriminasi dari tentara Belanda karena ia berasal dari kalangan pribumi. Di Banjarmasin, ia meyakinkan komandannya untuk mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan perwira non-Belanda bergabung dengan tim sepak bola, dan pada tahun 1917 ia telah menerima status hukum yang sama dengan tentara Belanda.[2][26]Setelah Balikpapan, Oerip dikirim ke SamarindaTarakan, dan terakhir ke Malinau.[26]
Di Malinau, Oerip berpatroli di perbatasan Kerajaan Sarawak (kini bagian dari Malaysia) yang dikuasai oleh Hindia Belanda dan Inggris; ia juga bertugas mencegah konflik dan pengayauan antar suku Dayak.[27] Suatu hari, tujuh tahun setelah tiba di Borneo, Oerip baru saja selesai berpatroli dan menemukan rumahnya sudah dibakar. Atas rekomendasi seorang dokter, Oerip kembali ke Jawa, melalui Tarakan dan Surabaya, dan tiba di Cimahi. Di Cimahi, Oerip mengistirahatkan diri selama beberapa bulan.[28]
Setelah pulih total, pada tahun 1923 Oerip ditempatkan di kampung halamannya, Purworejo. Pada September 1925, Oerip dipindahkan ke Magelang dan bertugas di Maréchaussée te Voet, sebuah unit militer bentukan KNIL.[29] Meski awalnya Oerip diketahui adalah pria yang kerap menghindari wanita, di bawah tekanan untuk segera menikah, Oerip berkenalan dengan Rohmah Soebroto, putri dari Soebroto, mantan guru bahasa Jawa dan Melayu-nya, yang juga kerabat jauh tokoh emansipasi wanita Kartini. Sejoli ini bertunangan pada tanggal 7 Mei 1926 dan menikah pada 30 Juni pada tahun yang sama.[30][31][32] Di Magelang, Oerip menggunakan nama ayahnya sebagai nama belakang untuk berurusan dengan Belanda.[c] Setelah itu, ia mulai menyebut dirinya dengan nama lengkap Oerip Soemohardjo, meskipun orang lain terus memanggilnya Oerip.[33]
Setahun setelah pernikahannya, Oerip dan istrinya ditempatkan di Ambarawa. Di sana, Oerip ditugaskan untuk membangun kembali unit KNIL yang telah dibubarkan sebelumnya.[33] Sambil melatih prajurit lokal menggantikan komandan Belanda yang belum tiba, Oerip dipromosikan menjadi kapten.[34] Setelah komandan Belanda tiba, pada Juli 1928 Oerip diberi cuti satu tahun, yang ia manfaatkan untuk melakukan perjalanan wisata ke seluruh Eropa bersama istrinya. Sekembalinya ke Hindia, ia ditempatkan di Meester Cornelis.[35]
Di Meester Cornelis, Oerip mulai menjalankan latihan militer; saat ditempatkan di sana, ayahnya meninggal dunia.[34] Pada 1933, ia dikirim ke Padang Panjang di Sumatera untuk menangani kerusuhan yang menewaskan beberapa perwira Belanda. Di Padang Panjang, ia melalui hari-harinya tanpa banyak peristiwa, dan bulan Juli 1935 ia diberi cuti untuk bepergian ke Eropa sekali lagi.[36] Oerip juga dipromosikan menjadi mayor pada saat itu, yang menjadikannya sebagai perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.[37]Setahun kemudian, setelah kembali ke Hindia, ia ditempatkan di Purworejo.[38] Pada pertengahan 1938, setelah berselisih dengan bupati setempat,[d] Oerip dipindahkan ke Gombong; ia menolaknya, dan kemudian keluar dari KNIL dan pindah ke rumah mertuanya di Yogyakarta.[39][40]

Warga sipil dan pendudukan Jepang[sunting | sunting sumber]

Di Yogyakarta, Oerip yang tidak bekerja menghabiskan waktunya dengan berkebun anggrek. Setiba di Yogyakarta, istrinya membeli sebuah vila di Gentan, di sebelah utara kota. Meskipun vilanya kecil, pasangan tersebut memanfaatkan lahan seluas 2 hectare (4.9 acre) untuk berkebun bunga,[41] dengan biaya hidup berasal dari uang pensiun Oerip di KNIL.[42] Di vilanya, yang bernama KEM (Klaarheid en Moed, atau "Kemurnian dan Keberanian"), Oerip kerap menerima tamu, baik yang berasal dari kalangan militer maupun warga sipil. Lewat tamu-tamu ini, ia menerima informasi mengenai peristiwa terkini dan memberikan saran tentang masalah-masalah militer dan politik.[43] Pada tahun 1940, pasangan ini mengadopsi seorang gadis Belanda berusia empat tahun bernama Abby dari sebuah panti asuhan di Semarang.[44]
Tak lama kemudian, pada tanggal 10 Mei 1940, setelah Jerman Nazi menginvasi Belanda, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Tiga hari setelah melapor kepada Kolonel Pik di Magelang, ia berangkat ke markas KNIL di Bandung.[45] Di sana, ia menjadi perwira pensiunan pertama yang melapor.[46] Setelah itu, Oerip bersama keluarganya dipindahkan ke Cimahi, dan ia ditugaskan untuk membangun depo batalion baru. beberapa perwira pribumi ditempatkan di bagian utara Hindia pada tahun 1941 untuk berjaga-jaga jika Kekaisaran Jepang menyerang, namun Oerip tetap berada di Cimahi.[45]
Setelah Jepang menduduki Hindia pada awal 1942, Oerip ditangkap dan dijebloskan ke kamp penahanan tawanan perang di Cimahi. Setelah dibebaskan tiga setengah bulan kemudian, Oerip menolak untuk membentuk pasukan kepolisian baru yang disponsori oleh Jepang, dan kembali ke KEM.[47][48] Di KEM, ia dan istrinya menyewa sawah dan menanaminya dengan padi sambil terus melanjutkan kegiatan berkebun.[49] Untuk melindungi lahan mereka, Oerip melindungi tanah dan rumahnya dengan pagar bambu yang tinggi.[50] Meskipun tak lagi aktif di militer, Oerip sesekali juga menerima tamu mantan anggota KNIL di vilanya, termasuk Abdul Haris Nasution dan Sunarmo, yang membawa kabar terkini mengenai peristiwa yang terjadi di luar desa. Pasangan ini terus melanjutkan aktivitas mereka sebagai warga sipil, kadang diganggu dan diawasi oleh orang Jepang dan orang Indonesia yang pro-Jepang, sampai pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada awal Agustus 1945, yang menandakan bahwa Jepang akan segera mundur dari Indonesia.[49] Selama periode ini, Oerip mulai mengalami masalah jantung.[51]

Revolusi Nasional Indonesia dan kematian[sunting | sunting sumber]

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Oerip dan keluarganya meninggalkan KEM dan pindah ke rumah orangtua Rohmah di Yogyakarta.[52] Setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) didirikan pada tanggal 23 Agustus, Oerip memimpin sekelompok komandan militer mengajukan petisi untuk membentuk formasi militer nasional.[53][54] Sementara itu, kelompok terpisah yang dipimpin oleh politisi Oto Iskandar di Nata menginginkan agar BKR menjadi organisasi kepolisian. Para pemimpin politik, yang terdiri dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, sepakat untuk berunding; BKR akhirnya ditetapkan sebagai organisasi kepolisian, tetapi sebagian besar anggotanya pernah bertugas di militer, baik Pembela Tanah Air (PETA) maupun Heihō.[53]
Pada 14 Oktober 1945 – sembilan hari setelah Tentara Keamanan Rakyat didirikan secara resmi – Oerip ditetapkan sebagai Kepala Staff dan panglima sementara, dan segera berangkat menuju Jakarta.[e] Dalam rapat kabinet keesokan harinya,[55] Oerip diperintahkan untuk membentuk angkatan perang nasional yang bermarkas di Yogyakarta,[f] dalam persiapan untuk menghadapi serangan yang mungkin akan dilancarkan oleh pasukan Belanda untuk merebut kembali Hindia.[57] Ia berangkat ke Yogyakarta pada 16 Oktober, dan tiba keesokan harinya. Oerip pertama-tama mendirikan markas di sebuah kamar di Hotel Merdeka, yang digunakannya sampai Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono IX menyumbangkan tanah dan bangunan untuk digunakan oleh para tentara.[58]
Karena BKR tersebar di bawah pimpinan para komandan independen di seluruh negeri, angkatan perang yang baru dibentuk, Tentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia), berupaya untuk merangkul perwira pribumi yang berasal dari mantan anggota KNIL.[57] Namun, para perwira ini dipandang dengan penuh kecurigaan oleh para nasionalis Indonesia karena pernah bertugas di angkatan perang Belanda. Sementara itu, jajaran anggota TKR diambil dari sejumlah kelompok, termasuk mantan tentara PETA, para pemuda, dan BKR.[55][59] Meskipun Oerip berhasil memusatkan komando, pada kenyataannya hierarki angkatan perang bersifat kedaerahan dan sangat bergantung pada kekuatan unit daerah.[60]
Sesuai keputusan pemerintah pada tanggal 20 Oktober, Oerip menjadi bawahan dari Menteri Pertahanan Soeljoadikoesoemo dan Panglima Angkatan Perang Soeprijadi. Namun, Soeprijadi tidak muncul untuk mengemban tugas-tugasnya. Soeprijadi adalah seorang tentara PETA yang memimpin pemberontakan terhadap pasukan Jepang di Blitar pada bulan Februari 1945, dan diyakini sudah tewas.[g] Posisi Soeljohadikosomo juga tak terisi, dan pemimpin gerilya Moestopo menyatakan dirinya sebagai Menteri Pertahanan. Dengan demikian, Oerip merasa agak diawasi dan ditekan untuk segera membentuk struktur militer yang stabil.[61] Pada tanggal 2 November, ia menunjuk komandan untuk menangani operasi militer di berbagai daerah di Indonesia: Didi Kartasasmita di Jawa Barat, Soeratman di Jawa Tengah, Muhammad di Jawa Timur, dan Soehardjo Hardjowardojo di Sumatera; masing-masing komandan ini diberi pangkat mayor jenderal.[62] Oerip juga mulai menyalurkan senjata ke berbagai unit TKR. Ia mengambil alih senjata yang disita dari Jepang dan medistribusikannya sesuai kebutuhan.[63] Namun, hasilnya kurang sesuai dengan yang ia harapkan. PETA telah dikelola secara kedaerahan pada masa pendudukan Jepang, dan para anggotanya tidak bersedia menerima kepemimpinan pusat.[64]
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Jenderal Soedirman – komandan Divisi V Purwokerto yang hanya memiliki dua tahun pengalaman militer dan 23 tahun lebih muda dari Oerip – terpilih sebagai panglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu.[65] Pada tahap ketiga, Oerip meraih 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara. Komandan divisi Sumatera semuanya sepakat untuk memilih Soedirman;[66] Oerip tidak terpilih karena beberapa komandan divisi mencurigai riwayat hidupnya dan sumpah yang ia ucapkan kepada Belanda saat ia lulus di KNIL.[67] Soedirman terkejut dengan hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta pertemuan tidak mengizinkan; Oerip sendiri merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas angkatan perang. Soedirman tetap mempertahankan Oerip dan mengangkatnya sebagai kepala staff dengan pangkat letnan jenderal.[68] Sebelum pemerintah melantik Soedirman sebagai panglima besar, Oerip secara de jure tetap menjadi pemimpin, namun wartawan Salim Said menulis bahwa perintah Oerip sulit dipahami karena kemampuan berbahasa Indonesia-nya yang buruk, dan perintahnya seringkali ditolak kecuali jika telah disetujui oleh Soedirman.[h][69]
Setelah Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada 18 Desember, ia mulai berupaya untuk mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang, sedangkan Oerip bertugas menangani masalah-masalah teknis dan organisasi.[70][68] Banyak rincian-rincian, seperti pemberlakuan seragam tentara, ia limpahkan penanganannya kepada komandan daerah.[i] Namun, untuk menangani masalah-masalah penting, ia mengeluarkan perintah yang berlaku secara nasional, misalnya perintah untuk membentuk polisi militer dan mencegah pasukan penerjun payung musuh mendarat.[68]
Bersama-sama, Soedirman dan Oerip berhasil mengatasi ketidaksepahaman antara mantan tentara PETA dan KNIL. Sementara itu, pemerintah mengganti nama angkatan perang sebanyak dua kali pada bulan Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada 23 Februari 1946, Oerip ditunjuk untuk mengepalai Panitia Besar Reorganisasi Tentara, yang dibentuk melalui keputusan presiden. Setelah berunding selama empat bulan, pada 17 Mei panitia menyerahkan rekomendasi kepada Presiden Soekarno. Oerip ditugaskan untuk menangani proses perampingan angkatan perang, sedangkan Menteri Pertahanan diberi kekuasaan birokrasi yang lebih besar. Soedirman tetap dipertahankan sebagai panglima angkatan perang.[71][72]
Setelah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin mulai membentuk kelompok-kelompok pro-kiri dalam tubuh militer, Oerip mulai curiga[73] dan mengecam upaya pemerintah yang memanfaatkan militer untuk kepentingan politik.[74] Meskipun demikian, ia dan Soedirman terus berupaya untuk memastikan bahwa pasukan paramiliter (laskar), yang muncul dari kalangan masyarakat umum, adalah bagian dari militer. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil pada tanggal 3 Juni 1947, ketika pemerintah mengumumkan untuk mempersatukan laskar dan TRI menjadi organisasi militer baru bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sementara itu, Oerip mendirikan sebuah akademi militer di Yogyakarta.[73]
Untuk memenuhi ancaman Belanda, Oerip berniat untuk menyerang Belanda di saat mereka masih menyusun kekuatan, namun rencana ini digagalkan oleh upaya pemerintah dalam diplomasi. Oerip sendiri lebih menyukai taktik gerilya ketimbang konflik militer resmi, ia pernah bercerita kepada bawahannya bahwa serangan terbaik bisa dilakukan dengan seratus penembak jitu yang bersembunyi di belakang garis musuh.[75] Oerip dengan lantang menentang hasil Perjanjian Renville; perjanjian tersebut menyebabkan ditariknya 35.000 tentara Indonesia dari Jawa Barat dan diresmikannya Garis Van Mook, yang memisahkan wilayah kekuasaan Belanda dan Indonesia.[76] Ia memandang perjanjian tersebut, yang disahkan pada 17 Januari 1948, sebagai taktik mengulur-gulur yang memberi Belanda kesempatan untuk memperkuat pasukannya.[77] Sementara itu, Amir Sjarifuddin – yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri – mulai merekrut tentara yang berhaluan kiri.[78] Muak dengan sikap pemerintah yang menurutnya kurang percaya pada militer, Oerip mengajukan pengunduran dirinya,[79] namun tetap bertugas sebagai penasihat Menteri Pertahanan sekaligus Wakil Presiden, Muhammad Hatta.[j][80]
Setelah beberapa bulan berada dalam kondisi lemah dan menjalani perawatan dari Dr. Sim Ki Ay,[81] pada malam 17 November 1948 Oerip ambruk dan wafat di kamarnya di Yogyakarta akibat serangan jantung. Setelah disemayamkan selama semalam, ia dikebumikan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Semaki dan secara anumerta dipromosikan sebagai jenderal.[2][80][82] Saat Soedirman mengancam akan mengundurkan diri pada tahun 1949, ia menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah selama revolusi-lah yang menyebabkan kematian Oerip, dan juga penyebab penyakit TBC yang diidapnya.[83] Oerip meninggalkan seorang istri dan putri angkat bernama Abby. Abby meninggal dunia karena malaria pada Januari 1951,[84] dan Rohmah wafat pada tanggal 29 Oktober di Semarang; ia dimakamkan di Ungaran.[31]

Warisan[sunting | sunting sumber]

Oerip menerima sejumlah tanda kehormatan dari pemerintah secara anumerta, termasuk Bintang Sakti (1959), Bintang Mahaputra (1960),[2] Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967),[85] dan Bintang Kartika Eka Pakçi Utama (1968).[k][2] Pada tanggal 10 Desember 1964, Oerip ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Soedirman juga dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh keputusan yang sama.[89]
Pada tanggal 22 Februari 1964, akademi militer Indonesia di Magelang mendedikasikan sebuah tugu untuk dirinya, dan menggambarkan Oerip sebagai "seorang putra Indonesia yang mengagungkan karya daripada kata, yang mengutamakan Dharma daripada minta."[90]Gereja Katolik di akademi tersebut juga mempersembahkan sebuah dedikasi untuk Oerip sejak tahun 1965, yang berawal dari perbincangan antara Rohmah dan teman misionarisnya.[91] Beberapa jalan juga dinamakan untuk menghormati Oerip, termasuk di kampung halamannya Purworejo, [92] di Yogyakarta,[93] dan di ibu kota Jakarta.[94]
Sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Oerip_Soemohardjo

Fungsi Tombol Tool Bar Image pada Adobe Photoshop

Sebelum kita masuk kedalam materi tutorial pada Adobe Photoshop, admin akan menjelaskan apa saja fungsi tombol pada tool bar Adobe Photoshop, yang kali ini admin akan membahas mengenai tool bar image, secara singkat admin jelaskan tool bar ini hanya untuk mengatur brightness atau contras, Hue atau Saturation, level, Gradient Map, Equalize dan masih banyak lagi.
baca juga artikel dari admin mengenai fungsi tombol tool bar filter pada adobe photoshop

Adapun tombol-tombolnya admin sudah buat di dalam sebuah gambar, langsung kita bahas setiap tombol tool bar image pada photoshop. Terdapat 18 tombol tool bar image, oke kita langsung satu per satu.

Ke 18 tombol-tombol memiliki fungsi masing-masing di antara sebagai berikut.
1.       Tombol Mode ini berfungsi untuk mengubah tampilan image atau foto dalam bentuk bitmap, grayscale, Duotune, Indexed Color, RGB Color, CMYK Color, Lab Color, Multichannel, di dalam Multichannel kita juga mengatur bit yang akan di pakai 8 bits Channel, 16 bits Channel, 32 bits Channel dan kita juga dapat mengatur warna di tab color,
2.       Tombol Adjustment ini berfungsi sebagai alat atur manual seperti yang di televisi, pada tombol adjustment kita juga dapat mengatur Brightness atau Contras, Hue atau Saturation, Level, Curve, Exposure, Vibrance, Color Balance, Black & White, Photo Filter, Channel Mixer, Color Lookup, Invert, Posterize, Threshold, Gradient Map, Selective Color, Shadow atau Highlights, HDR tonings, Variations, Desaturate, Match Color, Replace Color, dan terakhir Equalize,
3.       Tombol Auto Tone ini berfungsi sebagai alat atur otomatis,
4.       Tombol Auto Contras ini berfungsi sebagai alat atur otomatis khusus contras,
5.       Tombol Auto Color ini berfungsi untuk mengatur secara otomatis pada color yang akan di gunakan dalam sebuah gambar,
6.       Tombol Image Size ini berfungsi untuk mengatur panjang atau pendeknya suatu gambar, atau bisa juga mengatur resolusi pada suatu gambar,
7.       Tombol Canvas Size ini berfungsi untuk mengatur panjang atau pendeknya gambar seperti canvas,
8.       Tombol Image Rotations ini berfungsi untuk memutar gambar atau text pada sebuah gambar sehingga di tampilkan secara menarik,
9.       Tombol Crop berfungsi untuk memotong gambar secara persegi,
10.   Tombol Trim berfungsi untuk memotong gambar,
11.   Tombol Reveal All berfungsi untuk mengungkapkan semua,
12.   Tombol Duplicate ini berfungsi untuk menggandakan gambar yang sudah di atur,
13.   Tombol Apply Image ini berfungsi untuk penyimpanan sementara gambar yang sudah di atur tadi,
14.   Tombol Calculation ini berfungsi untuk mengatur semua jarak-jarak yang ada pada gambar,
15.   Tombol Variables ini berfungsi untuk mengatur segala effect yang digunakan pada sebuah gambar,
16.   Tombol Apply Data Set ini berfungsi memanggil kembali data atau gambar yang akan di atur jika belum tersimpan baik itu di dalam database laptop maupun PC,
17.   Tombol Trap ini berfungsi untuk perangkap
18.   Tombol Analisys ini berfungsi untuk menganalisa hasil gambar yang sudah di atur.
bbaca juga artikel cara mengaktifkan modul timeline pada adobe photoshop
Mungkin itu semua yang admin bisa sampaikan, jika ada kekurangan mohon selipkan komentar kalian di kolom komenter.
Semoga bermanfaat   

Cara Menghapus Data pada Google Drive

Para pembaca mungkin sudah pada tahu apa itu Google Drive, sekedar mengingatkan kembali bahwa Google Drive adalah suatu layanan untuk menyimpan data yang di miliki oleh google. Dalam pembahasan kali ini admin hanya ini membahas mengenai cara menghapus file di dalam Google Drive.

Jika data yang ada di dalam google drive sudah penuh atau overload maka solusinya adalah menghapus atau menambah kapasitas yang terdapat di google drive, kapasitas maximal dalam menyimpan data yang di berikan oleh google drive sebesar 15 GB, jika Para pembaca memiliki uang lebih bisa membeli di Drive Storage, lihat gambar yang admin sudah buat di bawah ini, para pembaca dapat melihat berapa harga yang di berikan oleh Google Drive selama satu bulannya.


Kembali pada topik pembahasan kita di atas bahwa admin akan menjelaskan cara menghapus data yang sudah penuh atau overload pada google drive, pertama pembaca harus memiliki akun google atau gmail.
Masuk google drive pada browser ketikan google drive maka akan tampil seperti gambar di bawah ini

Pilih yang paling atas, browser akan menampilkan gambar seperti di bawah ini




Masuk dengan klik tombol Go to Google Drive maka browser akan lansung menampilkan data-data yang sudah ada di google drive, setelah sampai pada tampilan data dengan menekan tombol pada keyboard para pembaca ctrl + a maka tampilannya akan menjadi biru lihat gambar di bawah ini.


Dengan mengklik ikon tempat sampah yang admin beri tanda lingkaran berwarna merah maka file atau data akan hilang, selanjutnya lihat gambar yang sudah admin buat pada tutorial kali ini.


Dengan mengklik tombol trash pada Tool box di Google Drive selamat menunggu kalau koneksinya cepat mungkin bisa cepat tapi kalau koneksinya di tunggu saja, beberapa, setelah maka google drive akan menampilkan gambar seperti di bawah ini.


Dengan mengklik tombol trash pada Tool box di Google Drive selamat menunggu kalau koneksinya cepat mungkin bisa cepat tapi kalau koneksinya di tunggu saja, beberapa, setelah maka google drive akan menampilkan gambar seperti di bawah ini.


Dan langkah terakhir pilih hapus selamanya, maka dengan mengklik tombol hapus selamanya itu maka semua data akan terhapus, demikian tutorial cara menghapus file atau data di google drive.


Selamat mencoba  



R. E. Martadinata

Laksamana TNI (Anumerta) Raden Eddy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Maret 1921 – meninggal di Riung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun), atau yang lebih dikenal dengan nama R. E. Martadinata, adalah tokoh ALRI dan pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung[1] dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Pendidikan awal[sunting | sunting sumber]
1.   Sekolah Dasar HIS di Lahat lulus pada tahun 1934,
2.   Sekolah Menengah Pertama MULO - B di Bandung lulus pada tahun 1938,
3.   Sekolah Menengah Atas AMS di Jakarta lulus pada tahun 1941
4.   Sekolah Pelayaran Zeevaart Technische School tidak sempat menyelesaikan karena pendudukan Jepang.
5.   Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan Jepang sampai ia diangkat sebagai nakhoda kapal latih Dai28 SakuraMaru.
6.   Bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia tahiun 1945
Perjuangan[sunting | sunting sumber]
Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jalan Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR, pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinasi oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro, dan lain-lain, membentuk BKR Laoet Poesat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laoet, diubah lagi menjadi TRI Laoet dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.
Berbagai penugasan yang pernah diemban selama berkarier di Angkatan Laut hingga akhir hayatnya adalah sebagai berikut :
1.   Wakil Komandan BKR Laut Jawa Barat - Agustus 1945
2.   Ajudan Kepala Staf Umum TKR Laut - Desember 1945
3.   Kepala Staf Operasi V MBA (Bagian Perencanaan) - Maret 1946
4.   Komandan Pendidikan Latihan Opsir Kalibakung (Sarangan, Jawa Timur) - Maret 1947
Ketika menjabat sebagai Kepala Staf Operasi V (Bagian Perencana), Martadinata mencurahkan perhatian dalam penyelesaian keruwetan ALRI. Salah satunya adalah soal kedudukan dan pembagian tugas antara MBU. ALRI di Yogyakarta dengan Markas Tertinggi (MT). ALRI yang berkedudukan di Lawang, yang dibentuk berdasarkan spontanitas pemuda-pemuda pelaut di Jawa Timur ia menginginkan agar perwira-perwira senior di Yogyakarta dan di Lawang dapat menyatukan diri dalam wadah Markas ALRI yang tunggal. Januari 1947 dibentuk Dewan Angkatan Laut (DAL) yang diserahi tugas menyelesaikan masalah tersebut.
Mendirikan SAL dan Kepala Pendidikan Latihan[sunting | sunting sumber]
Penugasan berikutnya adalah mendirikan Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Kalibakung, Tegal dan dilanjutkan dengan penugasan sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan, Magetan tahun 1948 yang kemudian dikenal dengan nama Special Operation (SO). Martadinata diberi tugas oleh KSAL Subijakto untuk menyelenggarakan sekaligus memimpin SO karena menurut KSAL Subijakto, SO merupakan lembaga pendidikan lanjutan untuk para perwira laut. Pendidikan tersebut diselenggarakan khusus untuk mempersiapkan para perwira laut yang akan bertugas memimpin armada kapal-kapal cepat. Kapal tersebut dirancang bisa menembus blokade Belanda, agar pasukan Republik tetap memperoleh senjata dan amunisi untuk meneruskan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Pendidikan SO mengambil tempat di Telaga Sarangan, lereng Gunung Lawu, Jawa Timur.

Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh[sunting | sunting sumber]

Ketika berlangsung Agresi Militer Belanda II, Ia ditunjuk sebagai Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh (ALDA) yang bertugas untuk mengendalikan kegiatan staf yang mencakup dua bidang yakni melaksanakan pendidikan dan mengkoordinasi kegiatan "Armada Penyelundup" senjata dari luar negri untuk membantu perjuangan.

Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya dan Komandan KRI Hang Tuah[sunting | sunting sumber]

Bulan Oktober 1949 ia kembali ke Jawa dan diangkat menjadi Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya tahun 1950. Saat itu sudah tercapai gencatan senjata antara RI dan Belanda. Sesuai kesepakatan, Belanda menyerahkan peralatan perangnya kepada Angkatan Perang RI, salah satu diantaranya Kapal Perang HrMS Morotai yang kemudian diubah namanya menjadi RI Hang Tuah dan R.E. Martadinata diangkat menjadi Komandannya. RI Hang Tuah merupakan Kapal Perang terbesar saat itu, digunakan untuk operasi-operasi militer menumpas pemberontakan gerombolan Andi Azis di Ujung Pandang dan RMS di Maluku.

Tugas belajar[sunting | sunting sumber]

Martadinata kemudian berkesempatan mengikuti pendidikan United States Navy Post Graduate School di AS pada tahun 1953. Selesai mengikuti pendidikan di AS, ia mendapat tugas khusus selama tiga tahun sepanjang tahun 1957-1959 di Italia untuk mengawasi pembuatan 2 kapal korvet kelas Almirante Clemente yang dipesan RI yaitu RI Soerapati dan RI Imam Bondjol. Pada kurun waktu tersebut Martadinata juga sekaligus bertugas mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Yugoslavia. Sekembalinya dari Italia, ia diangkat menjadi Hakim Perwira pada pengadilan Tentara di Medan Jakarta dan Surabaya.
Menteri/Panglima Angkatan Laut[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1959, terjadi pergolakan di dalam tubuh ALRI yaitu adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan KSAL yang pada saat itu dipimpin oleh Laksamana Madya R. Soebijakto, beberapa perwira yang dimotori oleh Mayor Laut Yos Soedarso dan Mayor (KKO) Ali Sadikin (kemudian disebut sebagai Gerakan 1959) menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan permohonan penggantian KSAL dengan damai dan tanpa kekerasan.
Pada awalnya Presiden Sukarno tidak menyetujui permohonan tersebut, namun setelah melihat bahwa gerakan tersebut mendapat dukungan hampir sebagian besar staf ALRI maka Presiden Soekarno memanggil Laksamana Madya R. Soebijakto untuk mendiskusikan Gerakan 1959. Dalam pembicaraan tersebut Presiden menyampaikan rencana penggantian KSAL dan ketika Presiden menanyakan siapakah calon yang cocok untuk menjadi KSAL maka Laksamana Madya R. Soebijakto mengusulkan Kolonel Laut R.E. Martadinata sebagai penggantinya karena dianggap netral. Pada saat itu Martadinata masih memimpin satuan ALRI mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Italia. Setelah menjabat, maka dengan sekuat tenaga ia berhasil mendamaikan kembali golongan-golongan yang saling berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.
Ketika menjabat KSAL yang kemudian diubah namanya diubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Laut, Angkatan Laut Republik Indonesia memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifik seiring dengan meningkatnya konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan perebutan Irian Barat. Dengan dicanangkannya Trikora, maka ALRI membeli peralatan tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak antara lain: 1 kapal penjelajah (kelas Sverdlov), 8 perusak (kelas Skoryy), 8 frigat (kelas Riga), 12 kapal selam (kelas Whiskey) dan kapal-kapal pendukung lainnya yang berjumlah hampir lebih dari 100 buah kapal. Selain itu dibeli pula pesawat pembom torpedo Ilyushin Il-28 seri Il-28T dan Il-28U, serta helikopter Mil Mi-4.
Pada tahun 1965, terjadi kembali pergolakan di dalam tubuh ALRI yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959 yaitu menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan laporan terjadinya kemerosotan kinerja Angkatan Laut karena dikelola oleh para perwira yang tidak profesional serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan R.E. Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut. Karena gerakan ini dianggap sebagai pelanggaran militer dan sesuai saran dari Letnan Jenderal Ahmad Yani yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, maka hampir kurang lebih 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut di mana termasuk diantaranya J.E. Habibie (mantan Dubes RI di Belanda) dan Pongky Soepardjo (mantan Dubes RI di Finlandia) dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut.
Sikap Martadinata mengenai G30S/PKI[sunting | sunting sumber]
Ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, dalam kapasitas sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut, R.E. Martadinata segera memberikan reaksi mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan ALRI bekerjasama dengan AD untuk menumpas G30S/PKI. Tindakannya tersebut ternyata tidak disenangi oleh Presiden Sukarno sehingga jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot dan digantikan oleh Laksamana Muda Muljadi. Martadinata kemudian diangkat menjadi duta besar berkuasa penuh RI untuk Pakistan.
Kepangkatan[sunting | sunting sumber]
1.   Kapten (Act) Mayor - 1950
2.   Mayor Laut - 1953
3.   Letnan Kolonel Laut - 1957
4.   Kolonel Laut - 1959
5.   Komodor Laut - 1959
6.   Laksamana Muda Laut - 1960
7.   Laksamana Madya Laut - 1964
8.   Laksamana - 1966
Pengabdian terakhir[sunting | sunting sumber]
Dalam rangka menyambut hari ulang tahun ABRI ke-21, R.E. Martadinata kembali ke Indonesia mendampingi 3 tamu dari Pakistan yaitu Kolonel Laut Maswar bersama istri serta Nyonya Rouf, istri dari Deputi I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan. Pada tanggal 6 Oktober 1966, mereka mengadakan perjalanan menaiki helikopter Alloutte II milik ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan, yang ternyata dalam perjalanan menabrak bukit di Riung Gunung. Kecelakaan tersebut menewaskan seluruh penumpang dan pilot, termasuk Laksamana Laut R.E. Martadinata. Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional karena pengabdiannya untuk negeri ini.
Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]
R.E. Martadinata menikah dengan Soetiarsih Soeraputra dikarunia 5 putri 2 putra yaitu :
1.   Soehaeny Martadinata
2.   Siti Khadijah Martadinata
3.   Judiati Martadinata
4.   Irzansyah Martadinata
5.   Siti Mariam Martadinata
6.   Vittorio Kuntadi Martadinata
7.   Roswita Riyanti Martadinata
Penghargaan dan tanda jasa[sunting | sunting sumber]
1.   Pahlawan Nasional
2.   Bintang Sakti
3.   Bintang RI Kelas I
4.   Bintang Satya Lencana Perang Kemerdekaan I
5.   Bintang Jalasena Kelas I
6.   Bintang Mahaputra Kelas V
7.   Bintang Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I
8.   Bintang Satya Lencana Gerakan Operasi Militer II
9.   Bintang Satya Lencana Satya Dharma
10. Bintang Satya Lencana Wiradharma
11. Bintang Satya Lencana Kesetiaan XVII tahun
12. Bintang Dharma
13. Bintang Gerilya
14. Bintang Sewindu
Tanda Jasa yang diberikan dari Negara Sahabat :
1.   Bintang jasa Militer Kelas II - Negara Yugoslavia
2.   Bintang Commodatore - Negara Italia
3.   The Legion of Commander - Negara Amerika Serikat
4.   Phillipine Legion of Honour tingkat Commander - Negara Filipina
5.   Bintang Kehormatan Kerajaan MuangThai - Negara Thailand

Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/R._E._Martadinata

Police Story

Perampokan Bank S uatu pagi yang cerah dengan titik matahari yang sangat indah di ufuk timur bandung ini, terdengar suara yang mengg...