Police Story



Perampokan Bank
Suatu pagi yang cerah dengan titik matahari yang sangat indah di ufuk timur bandung ini, terdengar suara yang menggelegar di sebelah barat daya tepatnya di daerah kawasan bank yang tak lain kawasan Asia Afrika ternyata sebuah suara tembakan oleh para perampok bank yang akan merampok sebuah bank di wilayah tersebut “semuanya angkat tangan” teriakan perampok bank, dengan melempar sebuah kantong kosong kepada petugas teller bank. “semuanya jangan ada yang berani macam-macam kalau tidak, kalian semua akan mati sia-sia dan cepat isikan kantong itu dengan uang.” Ucap perampok itu.
Dan dengan melompat petugas teller itu meraih kantong kosong yang di lemparkan oleh perampok bank dan mengisi kantong itu dengan uang yang ada di brankas bank tersebut, karena salah seorang petugas keamanan bank tersebut telah di tembak oleh perampok dan mengalami luka parah maka salah satu dari petugas customer service yang tepat di bawah meja kerjanya terdapat tombol alarm ia pun menekan tombol itu dengan tanpa sepengetahuan perampok bank alarm berbunyi pertanda bank itu sedang membutuhkan pertolongan dan salah satu warga setempat menelpon pihak kepolisian untuk meminta bantuan memecahkan kasus perampokan yang terjadi di daerah itu. Lalu dari pihak kantor pusat kepolisian mengabari kepada setiap polisi-polisi yang bertugas di daerah itu lewat alat walkie talkie dan  kami yang mendengar berita itu langsung segera menjawab untuk langsung menuju Tempat Kejadian Perkara (TKP), namaku adalah Baron gems  ini adalah ciri dari penampilan dan perawakanku aku yang berkulit kuning,  dengan rambut teruntai lurus tak terikat tertiup angin berwarna merah ke hitam-hitaman, dengan menggunakan jaket berkerah berwarna hitam kulit panjang ke atas, dengan membuka retsleting jaket tersebut maka terlihat jelas kaosku berwarna hitam dan menyelipkan dua buah pistol di samping punggung kiri dan juga kanan serta aku juga mengenakan jeans berwarna biru lusuh sobek-sobek pada jahitannya antara lutut ke bawah dan ciri khas rekan seperjuanganku, dia berkulit kuning, berambut plontos pendek, menggunakan kaos kutang, dengan menyelipkan dua buah pistol di pinggangnya dan mengenakan jeans yang sama lusuhnya denganku serta aku sering memanggilnya dengan sebutan jhon memang nama lengkapnya jhonatan setiawan. Itulah penampilan dan perawakan aku dan rekan seperjuanganku, kami bekerja di sebuah unit kepolisian bagian kriminal untuk menangani setiap kasus seperti perampokan bank, pemerkosaan, balapan liar, narkoba dan masih banyak lagi. Oh iya kembali lagi ke kasus yang tadi, kami sedang berjalan menuju sebuah bank yang sedang di rampok dengan menggunakan sebuah mobil sedan yang sudah di modifikasi dengan nitro atau anak-anak muda bisa mengenalnya dengan sebutan nos agar para pembalap liar bisa kami tangkap dengan cepat dan untuk mempercepat ceritanya kami yang menuju sebuah bank yang sedang di rampok dengan memakai sirine polisi untuk menyingkirkan mobil-mobil yang berada di depan kami.
Sesampainya kami di lokasi bank tersebut, aku dengan cepat melihat sekeliling agar bisa masuk dan meringkus si perampok bank itu, aku melihat ada sebuah pipa besar yang terhubung dengan bank itu pipa itu adalah sebuah pipa pembuangan air conditioning atau di singkat (AC) yaitu sebuah pendingin ruang atau sebuah pipa pembuangan asap jika terjadi kebakaran, yang pastinya pipa itu tertuju pada sebuah ruangan khusus atau ruangan penyimpanan tertentu maka aku berpikir dengan melalui pipa itu kami berdua bisa masuk kedalamnya dan menemukan perampok-perampok tersebut.
Karena aku dan rekan seperjuanganku sudah mengenal satu dengan yang lainnya

ikuti terus kelanjutannya ya hanya 

Kelas dan Daya Amplifiers

Materi Sound System tentang Kelas dan Daya Audio Amplifier
Power Amplifier adalah untuk mendorong level sinyal audio dan mengeluarkan tenaga listrik tegangan rendah untuk menggerakkan Loudspeaker (Speaker). Semua Speaker tentu membutuhkan penguatan daya sinyal level rendah oleh Amplifier. Penguat Audio Profesional akan memberikan perlindungan terhadap overdriven sinyal (sinyal yang berlebihan) juga terdapat sistim sirkuit pelindung hubungan pendek pada bagian output. Perangkat ini juga dilengkapi dengan pengatur kelebihan suhu, terdapat kipas angin (blower). Pada bagian input dilengkapai dengan Limiter yang digunakan untuk melindungi Amplifier dan Speaker dari yang beban input berlebihan.

Pengenalan Kelas-kelas dalam Amplifier Sistem

Pada era 80an kebanyakan sound sistem menggunakan Power Amplifier yang berdaya besar menggunakan Class AB Amplifier. Pada akhir 90an Power Amplifier dalam penggunaan Public Address (PA) system dibuat lebih ringan, lebih efisien, sedikit lebih kecil, dan lebih kuat. ini disebabkan karena meningkatnya penggunaan Power Supply Switching dan komponen penguatan menggunakan Amplifier kelas D. Produk ini menawarkan kekuatan daya yang cukup signifikan dan sangat efisiensi. Apabila digunakan secara kontinyu dengan efisiensi yang tinggi maka memerlukan tambahan pendingin dibandingkan dengan Amplifier terdahulu (lebih tua).
Audio Power Amplifier

Pemasangan beberapa Power Amplifier dalam Hardcase

Produk peralatan Profesional Amplifier dirancang untuk dipasang dalam rak standar berukuran kurang lebih 48.2 cm. Power Amplifier memiliki kipas angin (blower) internal untuk mengalirkan sirkulasi udara pada heatsink Final Transistor, hal ini karena Mosfet transistor menghasilkan panas yang lumayan tinggi. Perlu menjadi pertimbangan bagi operator bahwa pembuangan panas merupakan faktor penting saat pemasangan Power Amplifier pada rak peralatan (hard case), jadi hard-case peralatan harus dalam keadaan terbuka, terutama di bagian belakang. Bila anda menyukai Active Speaker maka ini cukup praktis karena semua komponen Amplifier yang dipasang internal dalam box speaker.

Digital Loudspeaker Management System (DLMS)

Sistem Manajemen Loudspeaker Digital yang menggabungkan fungsi Crossover Digital, pengkompresian audio, fungsi limiter sinyal audio serta fitur lainnya kedalam satu unit perangkat, ini menjadi populer sejak diperkenalkan. Ini digunakan untuk memproses campuran dari Mixer audio lalu membaginya ke berbagai Amplifier dan Loudspeaker yang digunakan. Sistem dapat mencakup beberapa loudspeakers, masing-masing dengan output sendiri dioptimalkan untuk berbagai frekuensi tertentu dalam hal ini adalah bass, midrange dan treble. Kita dapat membagi jalur Speaker menjadi 2 Way, 3 Way, atau 4 Way dengan hasil panduan DLMS akan lebih efisien dalam penggunaan power amplifier yang akan mengirimkan output ke masing-masing Amplifier dengan frekuensi loudspeaker masing-masing. Unit DLMS dirancang untuk orang yang profesional, peralatan ini memiliki fungsi kalibrasi dan fungsi pengujian seperti generator pink noise berikut analisa real time, bidang equalizing otomatis.

Faktor performa Power Amplifier System

Performa kerja Power Amplifier digunakan saat pensettingan tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah:
  • Level tekanan suara (SPL : Sound Pressure Level) yang diinginkan para pemain
  • Penempatan, apakah di dalam gedung atau di area terbuka
  • Kondisi Suasana hiruk pikuk.

Berikut ini seberapa besar penggunaan Power Amplifier dalam pengaturan yang berbeda
  • Small Vocal Sistem, sekitar 500 watt
  • Big Vocal System, sekitar 1.000 watt
  • Small Club system, sekitar 9.000 watt
  • Big Club System, sekitar 18.000 watt
  • Small Stadium System, sekitar 28.000 watt
Mari kita lihat lagi istilah-istilah yang sering dipakai dalam sound system agar tak membingungkan kita saat berhadaana dengan komponen-komponen audio system.

Penutup
Terimakasih atas kunjungan anda pada halaman ini yang bertajuk Kelas dan Daya Audio Power Amplifier [Part 1]. Ikuti bacaan lainnya tentang kelas-kelas dalam penguat daya dalam kategori materi sound system.
Pengenalan Dasar tentang Impedansi Speaker.

Terimakasih atas kunjungannya...

sumber
http://tehnik-dasar-soundsystem.blogspot.co.id/2015/11/class-power-amplifier.html

Nani Wartabone

Nani Wartabone, (lahir 30 Januari 1907 – meninggal di SuwawaGorontalo3 Januari 1986 pada umur 78 tahun) adalah putra Gorontalo dan tokoh perjuangan dari provinsi Gorontalo. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.[2] Ia seorang pejuang yang aktif berorganisasi dan berjuang melawan kolonialisme di daerahnya pada masa perjuangan kemerdekaan. Ia mulai berjuang dengan mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua PNI Cabang Gorontalo.[3]

Kehidupan Awal[sunting | sunting sumber]

Nani Wartanobe adalah putra Zakaria Watabone, seorang aparat yang bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda. Ibunya adalah keturunan ningrat. Meskipun ayahnya bekerja untuk Belanda, Ia memiliki pandangan yang berbeda pada penjajah. Ia tak betah bersekolah karena menurutnya guru-gurunya yang berkebangsaan Belanda terlalu mengagung-agungkan bangsa Barat dan merendahkan Bangsa Indonesia. Ia bahkan pernah membebaskan tahanan orangtuanya karena tak sampai hati melihat rakyat dihukum.[2]

Perjuangan dan Pergerakan[sunting | sunting sumber]

Nani Wartabone mulai aktif memperjuangkan Indonesia sejak bersekolah di Surabaya. Ia kemudian mendirikan organisasi Jong Gorontalo di Surabaya. Pada tahun 1928, Ia kembali ke Gorontalo dan membentuk perkumpulan tani (hulanga). Kepada para anggota hulanga ditanamkan rasa kebangsaan. Ia juga mendirikan cabang PNI dan Partindo. Setelah kedua organisasi itu dibubarkan, Nani Wartabone aktif di Muhammadiyah.[4]

Peristiwa Hari Patriotik 23 Januari 1942[sunting | sunting sumber]

Nani Wartabone kemudian mendengar Jepang telah menduduki Manado. Orang-orang Belanda melarikan diri ke Poso. Hal ini membuat orang Belanda di Gorontalo menjadi ketakutan dan bersiap pergi dengan terlebih dahulu melakukan bumi hangus. Dia merasa waktu perlawanan terhadap Belanda telah tiba.[4]
Pada tanggal 22 Januari 1942, Belanda membakar kapal motor Kalio dan gudang kopra di pelabuhan. Mengetahui hal ini, ia menyiapkan senjata dan para pemuda. Jumat pagi, 23 Januari 1942, pasukan yang dipimpin langsung olehnya berangkat dari Suwawa menuju Gorontalo. Sepanjang perjalanan, banyak rakyat ikut bergabung. Pukul 09.00 pagi semua pejabat Belanda di Gorontalo berhasil ditangkap. Setelah itu, Ia memimpin rakyat menurunkan bendera Belanda dan mengibarkan bendera Merah Putih yang diiringi lagu Indonesia Raya. Kemudian Ia berpidato:
[4]
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Nani Wartabone ditangkap dan dipenjara di Manado hingga Juni 1944. Dia kembali dipenjara dan dipindahkan ke Morotai, lalu ke penjara Cipinang, Jakarta, karena menolak menyerahkan kekuasaan kepada Australia sebagai wakil Sekutu. Dia dibebaskan pada tanggal 23 Desember 1949.[4]


Jepang menguasai Gorontalo[sunting | sunting sumber]

Sebulan sesudah "Proklamasi Kemerdekaan Nasional" di Gorontalo, tentara Jepang mulai mendarat. Pada 26 Februari sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manado berlabuh di pelabuhan Gorontalo. Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang ini dengan harapan kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata sebaliknya, Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan menuntut warga Gorontalo bersedia tunduk pada Jepang.
Nani Wartabone menolak permintaan ini. Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan.
Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati. Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.
Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan. Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.

Jepang kalah[sunting | sunting sumber]

Setelah menyerah kepada Sekutu, Jepang masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat Gorontalo. Ini terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942. Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan itu, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo tidak mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta keesokan harinya. Mereka baru mengetahuinya pada 28 Agustus 1945.
Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang itu, Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda. Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari oleh beberapa bukit kecil, dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo. Di tempat ini pula, raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.
Setelah menerima berita proklamasi di Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G. Maengkom yang pernah menjadi Menteri Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala Bea Cukai di Tanjung Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut.

Ditangkap Belanda[sunting | sunting sumber]

Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang memboncengi Sekutu ketika itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka untuk kembali menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo. Mereka berpura-pura mengundang Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado.
Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dengan tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942. Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946. Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini ia kembali mengalami siksaan fisik yang sangat kejam dari tentara pendudukan Belanda. Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.

Kembali ke Gorontalo[sunting | sunting sumber]

Tanggal 2 Februari 1950, Nani Wartabone kembali menginjakkan kakinya di Gorontalo, negeri yang diperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat dan Dewan Nasional yang berjuang bersamanya menyambut kehadirannya dengan perasaan gembira bercampur haru dan tangis. Kapal Bateku yang membawa Nani Wartabone disambut di tengah laut oleh rakyat Gorontalo. Nani Wartabone kemudian ditandu dari pelabuhan dibawa keliling kota dengan semangat patriotisme.
Rakyat kemudian membaiatnya untuk menjadi kepala pemerintahan kembali. Namun Nani Wartabone menentang bentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang ada pada saat itu. Gorontalo sendiri berada dalam Negara Indonesia Timur. Menurutnya, RIS hanyalah pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia tetap terpecah dan mudah dikuasai lagi.
Nani Wartabone kembali menggerakkan rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa pada tanggal 6 April 1950. Tujuan rapat raksasa ini adalah menolak RIS dan bergabung dengan NKRI. Peristiwa ini menandakan, bahwa Gorontalo adalah wilayah Indonesia pertama yang menyatakan menolak RIS.
Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani Wartabone dipercaya mengemban beberapa jabatan penting, di antaranya kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selepas itu, Nani Wartabone memilih tinggal di desanya, Suwawa. Di sini ia kembali turun ke sawah dan ladang dan memelihara ternak layaknya petani biasa di daerah terpencil.

Melawan PERMESTA[sunting | sunting sumber]

Ketenangan hidup Nani Wartabone sebagai petani kembali terusik, ketika PRRI/PERMESTA mengambil alih kekuasaan di Gorontalo setelah Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada bulan Maret 1957. Jiwa patriotisme Nani Wartabone kembali bergejolak. la kembali memimpin massa rakyat dan pemuda untuk merebut kembali kekuasaan PRRI/PERMESTA di Gorontalo dan mengembalikannya ke pemerintahan pusat di Jakarta.
Sayangnya, pasukan Nani Wartabone masih kalah kuat persenjataanya dengan pasukan pemberontak. Oleh karena itu, ia bersama keluarga dan pasukannya terpaksa masuk keluar hutan sekadar menghindar dari sergapan tentara pemberontak. Saat bergerilya inilah, pasukan Nani Wartabone digelari "Pasukan Rimba".
Berbagai cara dilakukan Nani Wartabone agar bisa mendapat bantuan senjata dan pasukan dari Pusat. Baru pada bulan Ramadhan 1958 datang bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa. Berkat bantuan kedua pasukan dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan inilah, Nani Wartabone berhasil merebut kembali pemerintahan di Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni 1958.

Politisi[sunting | sunting sumber]

Setelah PRRI/PERMESTA dikalahkan di Gorontalo itu, Nani Wartabone kembali dipercaya memangku jabatan-jabatan penting. Misalnya, sebagai Residen Sulawesi Utara di Gorontalo, lalu anggota DPRGR sebagai utusan golongan tani. Setelah peristiwa G30S tahun 1965, Nani Wartabone kembali berdiri di barisan depan rakyat Gorontalo guna mengikis habis akar-akar komunisme di wilayah itu.

Kematian[sunting | sunting sumber]

Nani Wartabone yang pernah menjadi anggota MPRS Rl, anggota Dewan Perancang Nasional dan anggota DPA itu, akhirnya menutup mata bersamaan dengan berkumandangnya azan salat Jumat pada tanggal 3 Januari 1986, sebagai seorang petani di desa terpencil, Suwawa, Gorontalo.

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Pada peringatan Hari Pahlawan 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7 November 2003. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.
Untuk mengenang perjuangannya di Kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu.

sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Nani_Wartabone

Dr. Moewardi

Dr. Moewardi (Pati, Jawa Tengah, 1907 - Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 1948) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Moewardi adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Selain itu aa adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Surakarta dan terlibat dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu. Di Solo, dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo. Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta. Namanya juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di jakartaDr Muwardi (1907-1948) 13 September yang patut dikenang Alkisah pada tahun 1930 di daerah Tanah abang Jakarta ada seorang lelaki bernama Muwardi, yang terkenal sebagai Dokter Muwardi atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena dokter itu senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas. Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan untuk mengobati seorang gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan berlumpur yang hanya kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur. Dia memandangi pakaian Muwardi yang masih bersih tak bernoda sedikit pun, “baru ganti itu !”, pikirnya. Sayang kalau ia harus jalan di lumpur. Air kotor dan lumpurnya tentu akan segera melekat pada sepatu dan celananya. “Tidak !”. “Jangan !” “Pak dokter harus tetap bersih, agar dapat segera mengunjungi orang sakit lainnya,” Akhirnya mau tidak mau, Muwardi digendong oleh si gembel. Sehingga Muwardi digendong di punggung si gembel dari jalan besar hingga ke rumah si sakit. Demikian pula pulangnya kembali ke mobil. Begitulah kecintaan rakyat gembel kepadanya. Setiap kalender menunjuk tanggal 13 September, itu adalah tanggal yang patut dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia, sebab pada tanggal 13 September 1930 oleh prakarsa seorang pemuda Muwardi lahirlah kepanduan baru di Jakarta, sebagai penjelmaan dari bersatunya tiga organisasi kepanduan di Indonesia yaitu Pandu Kebangsaan, Pandu Pemuda Sumatra dan Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie. Organisai kepanduan yang menjadi cikal bakal Pramuka itu bernama : Kepanduan Bangsa Indonesia. Delapan belas tahun sesudahnya tepat pada tanggal yang sama yaitu pada tanggal 13 September 1948. Dokter Muwardi berangkat ke rumah sakit Jebres dengan menggunakan kendaraan andong untuk melakukan operasi terhadap seorang pasien, seorang anak yang menderita sakit parah. Walaupun dilarang oleh anggota staf Barisan Banteng, Dokter Muwardi tetap berangkat. “Wis Yo Jeng!” (sudah ya Dik !). “Dag Pap !”, jawab istrinya, Soesilowati. Baru sampai di pintu depan ia kembali karena ada sesuatu yang ketinggalan, lalu berangkat lagi sambil berpamitan sekali lagi Wis yo Jeng !”. Istrinya heran dan sambil tertawa menjawab “Ah Pap, kok seperti penganten baru !”. Soesilowati tentu tidak akan mengira bahwa kata-kata pamitan Muwardi yang dirasa lucu tersebut merupakan kata-kata terakhir dari suami tercinta. Sebab setelah itu, dokter yang penuh dedikasi itu tidak pulang lagi selama-lamanya, hilang tak tentu di mana. Sekarang orang, pengikut dan kawan seperjuangan Muwardi di seluruh Indonesia dalam berbagai organisasi organisasi dan partai. Hampir seluruhnya sudah meninggal. Namun, jika kepada mereka ditanya pendapat mereka tentang Muwardi, semua tentu akan menyatakan bahwa Dr. Muwardi adalah salah seorang pemimpin Indonesia yang telah hidup sederhana, berjuang secara konsekwen dan mati menyedihkan untuk rakyatnya !. Rasa kemanusiaan Muwardi yang besar pada masa itu kepada sesama patut menjadi cerminan dokter masa kini di Solo, agar tidak melakukan tindakan diskrimisasi terhadap manusia. Putera Seorang Guru dari Jakenan Muwardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Sebagai putera ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni, seorang mantri guru. Sebuah kedudukan yang sangat berwibawa pada zaman itu. Muwardi adalah ber-13-saudara, laki-laki dan perempuan. Dari keturunan Sastrowardojo yang hidup ada yang menjadi pegawai Pamong Praja, ada juga tetap menjadi wiraswasta saja. Diantaranya menjadi seorang analis kesehatan yaitu Supardi, Pemimpin Laboratorium Kesehatan Daerah Jogjakarta sekitar tahun 1940-1950 yang merupakan kakak dari Muwardi. Analis kesehatan yang lainnya adalah adik Muwardi yaitu Darsono. Menurut silsilah, dari pihak ayah Muwardi masih keturunan langsung dari Raden Sunan Landoh atau Syeh Jangkung sedangkan dari pihak Ibu Muwardi masih keturnan Ario Damar (Bupati Palembang). Namun dari ke tiga belas bersaudara ini ada tiga yang meninggal saat masih kecil yaitu : Soenardi, Tarnadi dan Soedewi. Karena sebab itulah Muwardi lebih sering bermain dan dengan kedua kakaknya yaitu Soepadi dan Soenarto (Kepala DPU Jateng era 1970-an) seperti pada umumnya kakak beradik mereka bertiga ini sering sekali berbuat kenakalan dan berantem di antara mereka sendiri. Muwardi sangat beruntung lahir dari golongan ningrat sehingga tak heran, Muwardi dan kakak adiknya dapat menikmati berbagai fasilitas yang tidak semua masyarakat Indonesia pada saaat itu (bahkan hingga saat ini), salah satunya adalah pendidikan yang layak dan bermutu. Pada tahun 1913 Bapak Sastrowardojo pindah ke Desa Jakenan untuk mengajar di Sekolah Rakyat Bumi Putera, karena kepintarannya Muwardi dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardojo ingin agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Melihat kepandaian Muwardi dan rasa sayang jika anaknya sekolah terlalu jauh dari rumah Sastrowardojo memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere School di Pati. Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah dari Mayjen Ernst Julius Magenda-Direktur Intelejen ABRI era 1960-an) memberi rekomendasi agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen) atau Sekolah Dokter Bumi Putera di Jakarta. Pada zaman itu, tidak hanya kecerdasan otak yang dapat mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan namun diperlukan juga rekomendasi dari seseorang yang terpandang. Hampir 12 tahun waktu yang diperlukan oleh Muwardi untuk dapat mendapatkan ijazah dokternya, bukan karena bodoh. Keaktifannya di dunia mahasiswa dan kepanduanlah yang menyebabkan Muwardi harus menunda-nunda kelulusannya. Meski dirasa berat dan membutuhkan waktu yang cukup lama (baru lulus 1 Desember 1933), namun seharusnya ijazah tersebut sudah dua tahun terdahulu (1931) diberikan kepada Muwardi. Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para gurunya di STOVIA. Seorang gurunya bahkan menawarkan jabatan sebagai Beroeps-Assistant atau Asisten Proffesor pada Geneeskundige Hoge School (Sekolah Tinggi Kedokteran bagian Hidung, Kerongkongan dan Telinga). Muwardi menjadi asisten dari Dr. Hendarmin hingga saat ia meninggalkan kota Jakarta. Muwardi akhirnya mendapat brevet yang mengakui keahliannya. Selama lima tahun Muwardi bekerja sebagai dokter swasta. Muwardi pernah tinggal di Kebonsirih, di mana istrinya yang pertama (Soeprapti) meninggal dunia. Dengan meninggalkan seorang puteri (Tjitjik) dan seorang putera (Adi) yang masih bayi. Muwardi juga pernah berdiam di Tanahabang, dekat jalan Kebayoran atau Palmerah. Ditengah-tengah masyarakat gembel, yang menyebabkan dia mendapat julukan Dokter Gembel dari kawan-kawan seprofesi nya, julukan ini terdengar merendahkan namun sebenarnya menyiratkan kekaguman. Karena tak semua orang berani dan rela melakukannya, bukan ?!. Merintis kepanduan Indonesia Pada masa belajar di STOVIA, Muwardi, menunjukkan minat yang besar terhadap pergerakan pemuda. Ia masuk Jong Java dan giat dalam kegiatan kepanduan. Pada masa-masa awal belajar di STOVIA Muwardi pernah menjadi anggota Nederlansch Indiche Padvinder Vereneging (NIPV). Organisasi pandu yang dimulai oleh adanyacabang Nederlandse sPadvinders Organisatie (NPO) pada tahun 1912, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I memiliki kwartir besar tersendiri kemudian berganti nama menjadiNederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) pada tahun 1916. Keanggotaan NIPV terdiri dari anak-anak Belanda dan Bumi Putera. Dalam organisasi tersebut juga terdapat NIPC (Nederlands Indische Padvinders Club) organisasi kepanduan untuk usia anak-anak, tercatat Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada saat kelas 3 Eerste Europese Lagere Schoolpernah bergabung dengan organisasi ini. Muwardi adalah seorang pandu yang aktif dan disiplin.Karena kecakapannya, Muwardi sampai dipilih menjadi Assistant Troep atau Ploeg-leider atau Kepala Pasukan Pandu. Tingkat tersebut pada NIPV adalah tingkatan Pandu kelas I. Padahal tingkatan tersebut adalah tingkatan yang jarang dicapai oleh seorang pandu bumi putera yang bernaung di bawah panji-panji NIPV. Namun, Muwardi tak lama menjadi anggota NIPV, rasa nasionalisme lah yang membuat Muwardi memilih untuk pergi meninggalkan NIPV untuk selama-lamanya. Pada waktu dia hendak diangkat menjadi kepala pasukan kepanduan dia menolak mengucapkan sumpah setia terhadap Raja Belanda. Peristiwa keluar dari NIPV itu terjadi tahun 1925. Selain aktif di gerakan kepanduan Muwardi juga aktif dalam Jong Java, karena kecerdasannya dan kecintaanya pada dunia jurnalistik pada tahun 1922 Muwardi mendapat kepercayaan untuk memimpin Redaksi Majalah Jong-Java bersama adiknya, yaitu Sutojo. Kemudian tahun 1925 Muwardi dipercaya sebagai Ketua Jong-Java Cabang Jakarta. Dan terpilih sebagai salah satu utusan Jong Java pada Kongres Pemuda Nasional di Jakarta. Muwardi termasuk yang ikut mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Karena sumpah itu maka Jong Java dalam kongresnya pada bulan Desember 1928 dapat menerima fusi atau peleburan dengan organisasi kepemudaan lainnya. Peleburan Jong Java bersama dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda lain di Indonesia, seperti Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Rukun (Sunda), Sangkoro Mudo (Jawa) menjadi Indonesia Muda (I.M) yang berdasarkan kebangsaan. Jong Java mempunyai organisasi kepanduan yang bernama Jong Java Padvinderij (JJP), Muwardi adalah pemimpin dari JJP dan memimpin Redaksi Majalah Pandu, hingga akhirnya pada tahun 1925 Muwardi berinisiatif untuk mengubah nama Jong Java Padvinderij menjadi Pandu Kebangsaan. Yang sangat membuat kagum adalah inisiatif pribadi Muwardi untuk mengubah nama Padvinderij menjadi Kepanduan adalah jauh sebelum Bapak Haji Agus Salim menganjurkan pemakaian istilah “Pandu” dan “Kepanduan” untuk menggantikan kata “Padvinder” dan “Padvinderij”, sebab istilah tersebut dilarang oleh N.I.P.V. yang merasa sebagai organisasi resmi kepanduan pada masa itu. Pada tahun 1926 Muwardi menjabat sebagai Komisaris Besar, memimpin Kwartir Besar Kepanduan-kepanduan Jong Java Padvinderij. Didorong oleh semangat persatuan yang memuncak di kalangan pemuda waktu itu, maka pada 23 Mei 1928 dilangsungkan pertemuan antara wakil kepanduan se-Indonesia di Jakarta, yang dihadiri oleh Pandu Kebangsaan, NATIPIJ (Nationale Islamietishe Padvinderij) dari Jong Islamieten Bond, INPO (Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie) dari Pemuda Indonesia, sedangkan S.I.A.P. (Syarikat Islam Afdeling Padvinderij) dari Syarikat Islam, dan “Padvinder Muhammadiyah” yang pada 1920 berganti nama menjadi H.W (Hizbullah Wathon) dari Muhammadiah yang tidak hadir karena berhalangan. Pertemuan itu menghasilkan terbentuknya PAPI (Persatuan Antara Pandu Indonesia). Di lain tempat misalnya di Yogyakarta, Surabaya, Semarang, di mana terdapat lebih dari satu kepanduan didirikan PAPI setempat. Di Solo badan itu bernama Badan Persatuan Kepanduan Surakarta, di Yogyakarta bernama : Badan Persatuan Kepanduan Mataram, namun dengan maksud dan tujuan yang sama. Setahun kemudian pada 15 Desember 1929 PAPI mengadakan pertemuan ke II di Jakarta, dalam pertemuan Pandu Kebangsaan (PK) melalui Muwardi mengusulkan supaya diadakan peleburan (fusi) bagi semua organisasi kepanduan untuk dibentuk menjadi Satu Organisasi Kepanduan Indonesia (SOKI). Dalam konfrensi itu tak terdapat kata sepakat yang bulat dari kepanduan yang berbeda asasnya khususnya kepanduan yang berasaskan agama untuk bersatu bersama-sama sesuai usul Muwardi. Untuk menjaga keutuhan persaudaraan maka diambil jalan tengah dengan membentuk dua panitia, dengan tugas mempelajari penyelenggaraan dan rencana pelaksanaannya, bagi kepanduan yang berdasar pada asas kebangsaan semata-mata dan lainnya dengan yang mengutamakan dasar-dasar agama. Muwardi sebagai pimpinan Pandu Kebangsaan atau Jong Java Padvinderij saat berkemah dan berkongres di Solo (1929) menghendaki agar Pandu Kebangsaan dapat berfusi dengan organisasi kepanduan lainnya. Gagasan itu berdasarkan prinsip Muwardi bahwa “pandu yang satu adalah saudara pandu yang lainnya. Oleh karena itu, seluruh pandu harus menjadi satu.”. Setelah diadakan perundingan, dicapailah kesepakatan bahwa Pandu Kebangsaan, Pandu Sumatera (PPS), dan Indoneisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) untuk melebur menjadi satu organisasi kepanduan dengan nama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada 13 September 1930. Di organisasi tersebut Muwardi duduk sebagai Komisaris Besar Kepanduan Bangsa Indonesia. Patut dicatat adalah Umar Wirahadikusuma adalah anggota KBI semasa sekolah di tingkat ELS, dan kebetulan pada 18 September 1948 menjabat sebagai Pimpinan Batalyon IV Divisi Siliwangi dari Brigade Sadikin bermarkas di Colomandu dan turut memberantas PKI saat itu. Setelah mengadakan kongresnya yang pertama di Ambarwinangun, Yogyakarta pada akhir Desember 1930. Pucuk .;pimpinan dijabat oleh Soewardjo Tirtosoepono dan Muwardi, masing-masing sebagai Ketua Pengurus Besar dan Komisaris Besar. Kongres itu juga terkenal sebagai Jambore Nasional KBI I dikunjungi oleh 2/3 dari 57 cabang yang tersebar di Jawa, Bali, Madura dan Sumatera. Pembicaraan dalam kongres itu dititik beratkan pada perumusan yang sudah ada berasal dari ketiga kepanduan yang telah menjadi satu untuk dipakai pedoman kerja KBI sampai ada ketetapan dari kongres. Menjelang berakhirnya Jambore tiba-tiba pada waktu itu, di sekitar daerah Muntilan dekat Yogyakarta ditimpa bencana alam dengan meletusnya Gunung Merapi. Pandu KBI yang sedang berjambore dikerahkan serentak untuk ikut serta membaktikan tenaganya untuk mengurangi penderitaan para korban bencana alam. Dalam kepercayaan Jawa, jika pada suatu keadaan penting terjadi peristiwa besar maka keadaan penting tersebut akan menjadi besar dan abadi. Sepertinya, alam pun turut memberikan tanda bahwa KBI akan menjadi organisasi yang besar dan dikenang. Pada bulan Juni 1931 KBI melangsungkan Pertemuan Pemimpin I di Purworejo. Pertemuan ini besar sekali artinya bagi jalannya sejarah KBI selanjutnya. Sebab di situlah permulaan dasar-dasar KBI bahkan Pramuka antara lain : Menetapkan warna “merah-putih” sebagi warna setangan-leher dan bendera KBI sesuai dengan asas kebangsaan Indonesia. Selain menghasilkan keputusan penting bagi sejarah kepanduan Indonesia juga mensinyalir berdirinya satu kepanduan baru yang memakai nama singkatan : KDI (Kepanduan Di Indonesia) bentukan NIPV. Setahun kemudian (1932), KBI mengadakan Jambore Nasional II di Banyak, Malang. Perkemahan itu dipimpin langsung oleh Komisaris Besar Muwardi sendiri sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Di samping perkemahan biasa juga diadakan pertemuan tersendiri bagi para pemimpin untuk merundingkan soal organisasi dan pemimpin teknis mengenai kepanduannya. Hasil pertemuan Pemimpin di Banyak itu menunjukkan langkah kearah konsolidasi kedalam dan keluar. Jambore yang dilangsungkan 19-21 Juli 1932 dikunjungi oleh wakil dari 69 cabang KBI, putusan terpenting antara lain mengenai : Upacara Pelantikan Pandu dan Upacara Pengibaran Bendera. Jambore Nasional ke III diadakan di Solo pada 20-24 Juni 1934. Dalam pertemuan Pemimpin itu diambil putusan seperti : Mencetak Buku AD/ART, Petunjuk Permainan, Peraturan Mendirikan Cabang dan sebagainya. Sementara Pertemuan itu menetapkan Soeratno Sastroamijodjo menjadi Ketua Pengurus Besar menggantikan Soewarjo Tirtosoepomo yang sejak pertengahan tahun 1932 pindah ke Cilacap. Tak lama kemudian Muwardi meminta cuti karena harus menghadapai ujian akhir sebagai dokter dan keperluan persiapan menikah dengan istri pertamanya. Sebagai penggantinya dipilih Abdulrachim dari Bandung. Dengan sendirinya kedudukan Kwartir Besarpun ikut berpindah ke Bandung, Jawa Barat. Jambore nasional pertama Pada waktu Chief-Scout Lord Baden Powell singgah di Jawa dalam perjalanan ke Australia pada awal 1934, pandu Indonesia di luar NIPV dilarang ikut menyambutnya. Muwardi sudah menduga kemungkinan kejadian seperti itu. Maka dalam putusan pertemuan di Solo pertengahan tahun 1934, KBI mulai menyelenggarakan Jambore Daerah. Hampir bersamaan waktunya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat diadakan Jambore Daerah masing-masing bertempat di Kali Urang, Gresik dan Sukabumi di bawah Komisaris Daerah Hertog, Mursito dan Dadi Cokrodipo dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Jambore Daerah sangat menarik perhatian masyarakat, terbukti di Jawa Timur misalnya, Dr. Sutomo, Mr. Susanto Tirtoprodjo, Dr. Maas dan lain-lain ikut berjambore dan merasakan suka-duka hidup dalam perkemahan : tidur di atas kasur tanah berbantal saku-punggung (rugtas), mandi di sungai dengan WC model “plung-lap”. (begitu nyemplung-langsung hilang terbawa arus) Tahun 1935, pada perkemahan per-sa-mi (Perkemahan-Sabtu-Minggu) di Pasar Minggu (di Karang Teruna sekarang) di mana ikut para anggota Pengurus Besar dan Komisaris Besar. Diadakan diskusi tentang bagaimana cara KBI untuk mengadakan “ALL INDONESIAN JAMBORE”. Satu Jambore untuk seluruh pandu Indonesia tanpa memandang pada golongan dan agama, asal bukan anggota NIPV (Nederlands Indische Padvinders Vereneging). Ide ternyata sambutan dari masyarakat, khususnya dari kalangan kepanduan lain Periode 1936-1940 dimulai dengan penyelenggaraan Jambore Nasional KBI ke IV di Kali Urang, Yogyakarta. Perkemahan itu diadakan di lapangan Diponegoro, milik KBI Cabang Mataram (Yogyakarta) dan berlangsung dengan serba memuaskan di bawah pimpinan Komisaris Besar Muwarni. Pada pembukaan jambore di Kali Urang tahun 1936 Komisaris Besar Muwardi menyampaikan pidato yang sangat terkenal berjudul Jambore. Atas inisiatif Komisaris Besar KBI Muwardi pada 26 April 1938 di Solo diadakan pertemuan antara anggota Persatuan Antar Pandu Indonesia dengan mengudang beberapa Kwartir Besar Kepanduan lainnya untuk menjelaskan tentang cita-cita diadakannya All Indonesian Jambore. Cita-cita ini dapat diterima oleh rapat. Kemudian diputuskan mendirikan Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) yang berkedudukan di Solo. Susunan Pengurusnya terdiri dari wakil-wakil : KBI-Ketua, Kepanduan Asas Katholik Indonesia (KAKI)-Notulen, Nationale Islamietishe Padvinderij(NATIPIJ)-Bendahara, Syarikat Islam Afdeling Padvinderij (SIAP)-Urusan Bagian Teknik. Konfrensi BPPKI di Bandung pada pertengahan tahun 1939 memutuskan : Mengganti nama All Indonesian Jambore menjadi Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem disingkat : PERKINO, dengan alasan supaya nama itu sesuai dengan cita-cita kebangsaan dan diselenggarakan di Solo pada Juli 1940 Akan tetapi putusan itu kemudian terpaksa ditunda sampai 1941 sehubunganan gentingnya suasana internasional akibat Perang Dunia I dan II karena itu Perkino ke I dipindah ke Mataram (Yogyakarta). Setelah diberikan jaminan bantuan dari para ketua Cabang dan Pengurus dari B.P.K.M (Badan Persaudaraan Kepanduan Mataram) segeralah dibentuk Panitia Perkindo yang diketuai oleh Dr. Martosoehodo. Ternyata dari pihak masyarakat dan Sultan Hamengkubuwana IX juga sangat mendukung dan memperhatikan acara tersebut, dengan memberikan bantuan berupa moril maupun materil. Menurut rencana Perkino itu berlangsung 19-23 Juli 1941 bertempat di lapangan Gampingan. Dari berita 12 surat kabar Indonesia, Tionghoa, dan Belanda pada zaman itu menunjukkan bahwa Perkino ke I berhasil dengan memuaskan. Sebagai bukti adalah kutipan berita dari Pemandangan (21 Juli 1941), Mata-Hari (22 Juli 1941), Djokja-Bode (21 Juli 1941) dan Majalah Mingguan “Gelanggang” (24 Juli 1941) Dari sini terlihat bahwa kepanduan Indonesia di bawah pimpinan Muwardi waktu itu sudah sampai pada taraf perkembangannya yang tinggi hingga akhirnya dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Sesudah berlangsungnya Perkindo ke II di Jakarta 2-12 Februari 1943 organisasi KBI dibekukan pada tanggal 4, bulan 4, tahun 4 (2640 atau 1944), jam 4 sore, di lapangan KBI Gang Tengah Jakarta. Setelah Proklamasi Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945, mulailah pintu terbuka kembali bagi pandu untuk bergerak. Kesempatan ini segera digunakan oleh Muwardi (setelah memimpin Barisan Pelopor di Jakarta untuk mengawal Proklamasi dan telah pindah ke Solo) bersama-sama kawan-kawan di KBI untuk menyusun pergerakan kepanduan Indonesia kembali. Pada bulan September 1945, Muwardi bersama kawan pandu yang lain berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia (PKPI) sebagai suatu panitia kerja, menunjukkan pembentukan satu wadah organisasi kepramukaan untuk seluruh bangsa Indonesia dan segera mengadakan Konggres Kesatuan Kepanduan Indonesia. Muwardi sadar keadaan di tanah air tidak mengizinkan organisasi pandu bekerja berpisah-pisah. Seluruh pandu harus bersatu untuk menghadapi musuh yang mengganggu kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan hasrat bangsa Indonesia pada waktu itu. Kongres yang dimaksud, dilaksanakan pada 27-29 Desember 1945 di Solo. Muwardi mengajak seluruh pandu dari berbagai organisasi menyatukan tekadnya. Tujuh belas kepanduan menghentikan serentak organisasinya masing-masing untuk bersatu dalam Pandu Rakyat Indonesia (PRI) di kota Solo pada tanggal 28 Desember 1945. Ketua sementara PRI dijabat oleh Muwardi dan Komisaris Besarnya Hertog. Perkumpulan ini didukung oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan “Janji Ikatan Sakti”, lalu pemerintah RI mengakui PRI sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947. Pengawal Dwi Tunggal Tahun 1944 pemerintah Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Indonesia) yang pimpinan organisasinya langsung berada di bawah komando pemerintah militer Jepang. Jawa Hokokai mempunyai barisan yang namanya Shuisintai atau Barisan Pelopor yang terdiri dari pemuda. Pemimpin umum Barisan Pelopor adalah Bung Karno, sedang Sudiro sebagai Pelaksana Pimpinan Pimpinan Harian dengan dibantu oleh para anggota pengurus, seperti Chaerul Saleh, Agus Karma, Asmara Hadi, Mashud, Sukarjo Wirjopranoto, dan Otto Iskandardinata. Pada tiap-tiap karisidenan ada Barisan Pelopor yang dipimpin oleh seorang Syuurenotaicho (Komandan Barisan Pelopor Karisidenan). Muwardi adalah ketua Barisan Pelopor Daerah Jakarta Raya dan sekitarnya, wakilnya adalah Wilopo, S.H. Dari luar Barisan Pelopor terlihat hanyalah alat Jepang, tetapi dalam praktiknya menjadi wadah dan sarana perjuangan para pemuda. Sebagai pimpinan Barisan Pelopor Daerah Jakarta Raya, Muwardi membentuk Barisan Pelopor tingkat kecamatan. Kelak di kemudian hari sesudah Bung Karno dipilih menjadi Presiden, atas usul Sudiro, Bung Karno mengangkat Muwardi menjadi Ketua Umum Barisan Pelopor. Dengan “radio-radio gelap” para pemuda sudah tahu tentang kehancuran Jepang karena bom atom. Berita tentang kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik akhirnya tersebar luas. Salah satu rencana yang santer di kalangan para pemuda dan pemimpin-pemimpin pergerakan adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, para pemuda membentuk Barisan Pelopor untuk mengamankan para pemimpin perjuangan, seperti Soekarno dan Hatta. Muwardi diserahi tugas untuk memimpin Barisan Pelopor di daerah Jakarta. Sebagai markas Barisan Pelopor Jakarta adalah rumah milik pribadi Muwardi di jalan Cik Di Tiro No 7. Di rumah berkamar 11 buah tersebut, setiap hari rapat digelar untuk mempersiapkan strategi bagi kemerdekaan Indonesia. Di situ selalu hadir Chaerul Saleh, Sudiro, Suwiryo, Dr. Suharto dan Muwardi. Sering kali Muwardi menjual beberapa barang miliknya untuk membeli makanan untuk para pemuda itu. Dalam rapat akbar di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Banteng) sehari sebelum proklamasi, Barisan Pelopor bertugas untuk mengamankan lapangan itu dari kerusuhan dan ancaman balatentara Jepang. Lapangan Ikada dijaga ketat oleh serdadu Jepang. Setiap serdadu Jepang yang berdekatan dengan rombongan Soekarno-Hatta diawasi oleh tiga orang pemuda. Para pemuda yang mengelilingi dan mengawasi gerak-gerik serdadu-serdadu Jepang itu adalah anak buah Muwardi, pada saat itu komandan lapangan Barisan Pelopor adalah Moeffreini Moe’min seorang bekasSyodancho dari Daidan I Jakarta. Mereka adalah para pendekar pencak silat, bersenjatakan belati dan rencong. Mereka bertugas merampas senjata dari tangan serdadu Jepang bila situasi rapat umum menjadi gawat dan ternyata rapat itu berlangsung dengan lancar tanpa gangguan keamanan. Namun menjelang Hari Kemerdekaan, sebagai ketua Barisan Pelopor Jakarta Raya, yang dibantu oleh Soegandi, Sudiro (pernah menjabat Walikota Jakarta Raya), Bendahara Kampung Duri Jakarta Masihono, dan Suratno. Pada suatu ketika tentara Jepang sedang mencari pemimpin Barisan Pelopor. Bertepatan dengan kedatangan Masihono untuk mencari uang kas Pelopor. Pada waktu itu Muwardi disembunyikan di kolong tempat tidur Masihono. Bila pada detik itu Muwardi diketemukan oleh tentara Jepang tentu pada saat itu pula Muwardi habis ajalnya. Seperti nasib pemimpin lain tetapi, Tuhan masih melindunginya dan Muwardi selamat. Dalam peristiwa mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Muwardi mendapat tugas dari para pemuda bersama Sayuti Melik untuk membangunkan Bung Karno. Pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan di rumah kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta ramai dikunjungi orang Muwardi menjamin keadaan aman kepada Dokter Soeharto, dokter pribadi Bung Karno: “masih tidur semua, semua beres”. Muwardi menunjuk kepada kelompok orang di belakang rumah sambil berkata “Itu barisan berani mati yang saya pimpin”. Sudah diputuskan, pembacaan Proklamasi akan dilangsungkan pagi itu, tetapi saatnya masih akan ditentukan oleh Bung Karno. Ia baru masuk kamar tidur menjelang subuh sekembalinya dari rapat di rumah (Laksamana) Maeda. Di depan rumah Bung Karno sudah kelihatan ada mikrofon berdiri dengan standardnya. Karena instruksi Sudiro, Barisan Pelopor terus berdatangan ke Pegangsaan Timur 56. Waktu sudah mendekati pukul 10.00 tetapi Bung Hatta belum juga datang. Muwardi yang tidak sabaran menunggu masuk ke kamar Bung Karno dan mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendiri saja tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta. Alasannya karena Bung Hatta sudah menandatangani teks Proklamasi. Pada mulanya Bung Karno menjawab dengan tenang saja, tetapi karena Muwardi mendesak dengan nada marah Bung Karno menjawab : “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada, kalau Mas Muwardi tidak mau tunggu silahkan baca Proklamasi sendiri”. Dialog kedua tokoh ini disaksikan oleh Sudiro dan sesudah itu Muwardi tidak mendesak Bung Karno lagi. Sebetulnya Muwardi melakukan itu karena Sudiro melihat di sekitar jalan Pegangsaan terlihat seorang Jepang yang sedang bercakap-cakap dengan Sukardjo Wirjopranoto. Keduanya sebenarnya khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah di serbu Jepang, sehingga akhirnya Proklamasi gagal. Tetapi memang Bung Hatta adalah seorang yang selalu memegang teguh, sebelum pukul 10.00 dia tiba. Setelah masuk dalam kamar Bung Karno, tidak lama kemudian mereka berdua keluar dan keluar rumah menuju halaman depan di mana sudah tersedia mikrofon, tiang bendera dan para hadirin dan hadirin yang akan menjadi saksi pembacaan Proklamasi tepat pada pukul 10.00 pagi. Setelah pembacaan proklamasi dan upacaranya selesai, Bung Hatta dan pemimpin-pemimpin lainnya pulang. Muwardi masih tinggal untuk berunding dengan Sudiro memilih 6 orang dari Barisan Pelopor yang pendekar pencak untuk menjadi Barisan Pelopor Istimewa yang bertanggung jawab atas keamanan pribadi Bung Karno yang menjadi Presiden pertama RI sesudah proklamasi kemerdekaan. Pimpinan barisan khusus itu diserahkan kepada Sumantoyo, sedang petugas lainnya ialah antara lain Sukarto dan Tukimin. Keenam orang itu setiap saat menanggulangi segala serangan terhadap Presiden RI dengan segala kesediaan mengorbankan nyawa. Mengingat keadaan pada waktu itu, segala kemungkinan dapat terjadi, terutama tindakan keras dari pihak tentara Jepang. Dengan sangat detail Muwardi memikirkan keselamatan pemipin Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Sesudah 18 Agustus 1945 Bung Karno dipilih menjadi Presiden maka tidak mungkin lagi memimpin terus Barisan Pelopor. Pucuk pimpinan Barisan Pelopor diserahkan ke Muwardi. Nama Barisan Pelopor diubah menjadi Barisan Pelopor Republik Indonesia (BPRI). Meskipun pada 23 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), BPRI tetap berdiri sendiri. BKR mendirikan markas di jalan Cilacap no.5, (rumah milik kakek Jenderal Prabowo Subianto) untuk wilayah karisidenan Jakarta pada 27 Agustus 1945 dipimpin Moeffreini Moe’min yang tak lain anak buah Muwardi di Barisan Pelopor. Saat Bung Karno menjadi Presiden dan hendak menyusun Kabinet, Muwardi mendapat tawaran langsung dari Bung Karno untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan namun dia menolak karena hendak meneruskan kariernya sebagai dokter. Sehingga dalam sejarahnya jabatan itu diharapkan dapat dipegang oleh Supriyadi, yang ternyata pada kenyataanya ternyata hilang setelah melakukan pemberontakan Peta. Namun tindakan pejuang di dalam kota tidak semuanya bisa dikontrol. Tidak sedikit kaum petualang yang menyalahgunakan kesempatan mencari keuntungan sendiri. Tercatat BPRI diboncengi oleh “Barisan Usung-Usung”, barisan yang mengangkut barang milik rakyat untuk kepentingan pribadi hingga di sana-sini ada tuduhan BPRI adalah perampok, pencuri danpembunuh. Oleh karena itu, kepada Muwardi dianjurkan supaya kedudukan BPRI dipindahkan dari Jakarta. Waktu itu Pemerintah Republik Indonesia telah siap-siap hendak hijrah ke Yogyakarta mengingat kota Jakarta yang tidak aman. Setelah Pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, pengurus BPRI mengadakan perunding untuk memindahkan markasnya ke Solo. BPRI pada bulan Desember 1945 mengadakan kongres di Gedung Habiproyo, Singosaren (sekarang Matahari Singosaren), Solo. Dalam kongres 15-16 Desember 1945 itu diputuskan untuk mengganti nama dari BPRI menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). BBRI bermarkas di Solo dengan Muwardi sebagai Pemimpin Umum. Sesuai dengan keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal. Menurut rencana Muwardi akan ditunjuk sebagai pemimpin partai tunggal tersebut, tetapi dengan adanya maklumat Pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian hak-hak legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang dapat menentukan Garis-Garis Besar Haluan Politik Negara/Pemerintah. Kabinet tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden melainkan bertanggung jawab pada Komite Nasional Indonesia Pusat. Orang-orang yang duduk dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP merupakan wakil-wakil dari partai-partai. Pada 30 Oktober 1945, ketika Soekarno, Hatta dan Amir Syarifuddin berada di Surabaya untuk menenangkan keadaan, maka KNIP bersidang dan mengambil keputusan membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai dengan berbagai pertimbangan. Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin mendirikan Partai Sosial Indonesia; Iwa Kusumasumantri mendirikan Partai Buruh, Dr. Sukiman mendirikan Partai Masyumi, Mangunsarkoro dengan Partai Nasionalis Indonesia, Sukarni mendirikan Partai Murba (Muwardi sempat terlibat aktif di dalamnya) dan partai-partai lain didirikan. Kabinet pertama, kabinet presidensiil dijatuhkan oleh KNIP sebagai Badan Legislatif. Syahrir kemudian menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Amir Syariffudin selain memegang jabatan Menteri Keamanan Rakyat juga merangkap sebagai Menteri Penerangan. Kalau kabinet pertama dianggap dekat dengan politik “kolaborasi dengan Jepang” maka kabinet kedua dekat dengan politik “kolaborasi dengan Belanda”. Karena politik kabinet Syahrir adalah politik “berunding dengan Belanda” mengakibatkan oposisi terhadap kabinet meningkat pada awal tahun 1946. Pada tanggal 5 Januari 1946 di Purwokerto diadakan pertemuan oleh partai-partai dan badan-badan perjuangan yang tidak sehaluan dengan “politik” Kabinet Syahrir untuk membentuk Persatuan Perjuangan (PP). Sementara itu Muwardi segera meluaskan sayap Barisan Banteng dengan menyusun cabang-cabang di tiap-tiap Karisidenan, ranting-ranting di Kabupaten, dan anak ranting di Kawedanaan. Bersama dengan Sudiro, Mulyadi Joyomartono. Banyak berkeliling mengadakan inspeksi ke daerah Jawa Barat, Bandung, Purwakarta, Leles, hingga ke Jawa Timur, Bojonegoro, dan Malang. Khusus di Solo dibentuk Divisi Laskar Banteng di bawah pimpinan Anwar Santoso yang membawahi 5 resimen, berkedudukan di Kartasura, Solo, Wonogiri dan Sragen. Di dalam Pimpinan Barisan Banteng diadakan pembagian pekerjaan. Sudiro dan Imam Sutadjo memimpin bagian politik yang berhasil menerbitkan harian Pasific dan majalah Banteng. Karena kegiatan menjalankan inspeksi ke Bandung menyebabkan Muwardi terlibat dalam peristiwa “Bandung Lautan Api” 23 Maret 1946 bersama-sama tokoh-tokoh Barisan Banteng, Toha, A.H. Nasution dan Suprayogi. Meskipun sibuk memimpin Barisan Banteng, Muwardi tidak sedikit menyumbangkan pikiran-pikiran perjuangan termasuk strategi militer kepada pimpinan Angkatan Perang, khususnya Jenderal Sudirman dan Jenderal Urip Sumohardjo, Urip tak lain masih sesaudara ipar dengannya. Ditarik ke dunia Politik Pengaruh, kecakapan dan kesanggupan Muwardi dalam memimpin perjuangan diakui oleh kalangan luas di samping perhatiannya yang besar terhadap masalah politik sehingga kaum politisi berhasrat menariknya ke dalam perjuangan politik. Pendekatan kaum politisi kepada Muwardi mendapat jalan setelah diketahui Muwardi, Sudirman, Urip Sumohardjo dan Tan Malaka tak menyetujui Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 25 Maret 1947. Perjanjian ini berakhir usai Agresi Belanda I tanggal 1 Juli 1947, Kemudian diadakan gencatan senjata dan diadakan perundingan Indonesia-Belanda di kapal Amerika, Renville di bawah pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik dari PBB tanggal 17 Januari 1948 yang berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville. Persetujuan Renville pada hakikatnya mendapat banyak tentangan mengakibatkan pembentukan Kabinet Presidensil dengan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. PKI lewat Partai Sosialis Amir Syarifuddin menuntut kursi Menteri Pertahanan, tetapi ditolak dan kursi itu dirangkap oleh Bung Hatta sendiri. Amir Syarifuddin tidak tinggal diam dan bertindak mendirikan FDR (front Demokrasi Rakyat) tanggal 26 Februari 1948 yang beranggotakan PKI, PS-Amir Syarifuddin, PIB (Partai Buruh Indonesia), SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Hampir bersamaan dengan itu BBRI mengadakan kongres di Sarwakan, Solo (sekarang Jl. Honggopranoto) untuk menentang perundingan dengan Belanda yang dilakukan Pemerintah Syahrir. Kongres itu dihadiri oleh Presiden Sukarno untuk mencegah agar jangan sampai Muwardi dengan Barisan Banteng-nya terlibat perselisihan politik dengan pihak pemerintah. Karena kedua sikap politiknya itu, yaitu anti perundingan dengan Belanda dan Anti Swapraja, maka Muwardi bersama Mulyadi Joyomartono ditangkap atas perintah Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono. Tetapi akhirnya dilepaskan kembali untuk menghindarkan tindak kekerasan dari BBRI dan simpatisannya kalau sampai Muwardi tidak dibebaskan. Selain itu ada juga campur tangan Sudirman dan Urip Sumohardjo, menyebabkan pemerintah berpikir banyak jika menahan Muwardi. Sejak PKI berdiri kembali tanggal 25 Oktober 1945, sejak pertengahan tahun 1946, di Solo mulai tampak partai dan badan perjuangan yang menjurus ke paham Sosialis Kiri dan Komunis. Diantaranya garis dan golongan Sosialis menjurus ke Komunis (Partai Sosialis, Partai Buruh, Partai Komunis Indonesia, Pesindo) dan golongan Nasionalis (PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng). Polarisasi partai-partai dan golongan itu terlihat pada peritiwa perebutan kedudukan Residen Solo. Indikasi Solo dalam keadaan gawat adalah peristiwa diculiknya Perdana Menteri Syahrir tanggal 27 Juni 1946, sehingga kekuatan negara sepenuhnya ada ditangan Presiden Sukarno. Namun peristiwa penculikan tersebut hanya berlangsung sehari semalam. Kejadian tersebut berlanjut dengan kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal Mayor Soedarsono tanggal 3 Juli 1946 beruntung kudeta tersebut dapat digagalkan untuk mengatasi keadaan yang rawan di Solo sekitar pertengahan tahun 1946. Pemerintah Pusat berlandaskan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 16/SD mengangkat Mr. Iskak Tjokroadisurjo dan Sudiro masing-masing sebagai Residen dan Wakil Residen Surakarta. Keduanya berasal dari golongan Nasionalis (PNI dan Barisan Banteng). Tetapi pengangkatan itu ditentang oleh Golongan Komunis dengan mengajukan resolusi tanggal 8 Oktober 1946. Karena tentangan itu, Pemerintah Pusat sampai mengeluarkan Ketetapan Pemerintah lagi pada tanggal 22 Oktober 1946 No. 21/ SD. Isi ketetapan itu memerintahkan agar kedua pejabat tersebut kembali ke pos-nya untuk menjalankan tugas pekerjaannya. Namun, Mr Iskak Tjokroadisujo dan Sudiro tidak dapat menjalankan pekerjaan karena pada tanggal 9 November 1946 malahan diculik oleh golongan tertentu. Dan golongan tertentu itu mengangkat Soejas dan Dasuki masing-masing menjadi Residen dan Wakil Residen Surakarta. Golongan tertentu itu adalah golongan Sosialis yang menjurus ke Komunis, karena Soejas dan Dasuki termasuk di dalamnya. Pertentangan antara dua golongan itu terus memuncak akibat adanya Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946 yang berbentuk “Pro” dan “Kontra” perjanjian tersebut. Kemudian golongan yang pro ini membentuk front ” Sayap Kiri” dan terdiri dari Partai Sosialis, PBI, PKI, Pesindo. Sedang yang Kontra juga membentuk front yang bernama “Benteng Republik” dan terdiri dari PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng RI. Perjanjian Linggarjati itu akhirnya mendapat tentangan dari anggota partainya sendiri, yaitu Syahrir sendiri. Akibatnya timbul perpecahan dalam Partai Sosialis. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Ada yang menyebut SOSKA-Sosialis Kanan) dan Amir Syarifuddin tetap dengan Partai Sosialinya yang nantinya bergabung dengan FDR/PKI. Karena itulah maka jatuhlah Kabinet Syahrir (yang ketiga) pada tanggal 26 Juli 1947. Setelah itu dibentuk Kabinet baru di mana Perdana Menterinya adalah Amir Syarifuddin (merangkap Menteri Pertahanan). Kabinet ini melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda yang menghasilkan suatu persetujuan yang nilainya dapat dipandang sebagai lebih merugikan Indonesia kalau dibandingkan dengan perjanjian Linggarjati, adalah yang disebut Persetujuan Renville.

sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Moewardi

Police Story

Perampokan Bank S uatu pagi yang cerah dengan titik matahari yang sangat indah di ufuk timur bandung ini, terdengar suara yang mengg...