Pada tahun
1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat menyelesaikan
studi. Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di
Indonesia dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di
Indonesia. Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali hingga tahun 1930. Pada Desember 1926,
Semaun dari
PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada PI, selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta. Waktu itu, Hatta belum meyetujui paham
komunis.
Stalin membatalkan keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk. Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.
Pada tahun
1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di
Frankfurt.
[a] Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari
Rusia nampak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis. Pada waktu itu, majalah PI,
Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke
Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak ke
polisian terhadap kaum pergerakan yang dicurigai.
Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam
pidatonya "Indonesia Merdeka" (
Indonesie Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928. Pidato ini sampai ke
Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari
parlemen. Yang dari parlemen, bernama
J.E.W. Duys. Tokoh ini memang bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa dibuktikan.
Sampai pada tahun
1931, Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti ujian sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap membantu PI. Akibatnya, PI jatuh ke tangan
komunis, dan mendapat arahan dari partai komunis Belanda dan juga dari
Moskow. Setelah tahun
1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini. PI di
Belanda mengecam sikap Hatta sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka terhadap PI. Perhimpunan menahan sikap terhadap kedua orang ini.
Pada Desember 1931, para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan
Syahrir yang pada saat itu sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah kongkret untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu untuk menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya, Syahrir terpaksa pulang dan untuk memimpin PNI. Kalau Hatta kembali pada
1932, diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.
1932-1941: Pengasingan[sunting | sunting sumber]Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada 6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen. Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda. Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia.[b] Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarnomenuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.
Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada
25 Februari 1934 dan dibuang ke
Digul, dan selanjutnya ke
Banda Neira. Baik di
Digul maupun
Banda Neira, ia banyak menulis di
koran-koran Jakarta, dan ada juga untuk
majalah-majalah di
Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan di
Pasifik.
Semasa diasingkan ke
Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong. Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya memberantas
malaria. Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya diberi gaji f 2.50 saja. Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang kekurangan.
Di
Digul, selain bercocok tanam, ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari
Minangkabau maupun
Banten. Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis. Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti
paku dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke koran
Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn. Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim
residen Ambon untuk menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia juga meminta supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam pembuangan.
Pada 1937, ia menerima
telegram yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke
Banda Neira.
[c] Hatta pindah bersama Syahrir pada bulan Februari pada tahun itu, dan mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang cukup besar. Adapun ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya.
Sewaktu di
Banda Neira, ia bercocok tanam dan menulis di
koran "Sin Tit Po" (dipimpin
Lim Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam
Bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis di
Nationale Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin
Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran
Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan. Hatta juga pernah menerima tawaran
Kiai Haji Mas Mansur untuk ke
Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun dirinya ke Makassara dia masih berstatus tahanan juga. Waktu itu, sudah ada
Cipto Mangunkusumo dan
Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr. Cipto belajar tata-buku dan
sejarah. Ada juga anak asli daerah Banda Neira yang belajar kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta dari
Sumatera Barat yang mengirimkan dua orang kemenakannya untuk belajar
ekonomi dan juga sejarah. Selain itu, dari
Bukittinggi dikirim
Anwar Sutan Saidi sebanyak empat orang pemuda yang belajar kepada Hatta.
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran
Pemandangan yang isinya supaya rakyat
Indonesia jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, pada zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta selama
Perang Pasifik. Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala
Kenpeitei (dinas intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti
Nippon Sheisin di
Tokyo pada November 1943.
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang
Jepang menyerang
Pearl Harbor,
Hawaii. Ini memicu
Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk
Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari
Digul ke
Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan
Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di
Surabaya dan naik
kereta api ke
Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang
anak-anak dari
Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa kembali ke
Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke
Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat. Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal pada masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerjasama dengan Belanda, diikut sertakan seperti
Abdul Karim Pringgodigdo,
Surachman, Sujitno Mangunkususmo,
Sunarjo Kolopaking,
Supomo, dan
Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepang. Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan rakyat.
1945: Mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia[sunting | sunting sumber]
Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik ke kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).
Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.
1945-1956: Menjadi Wakil Presiden pertama di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pk10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden Soekarno.
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggajati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.
Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada di Pematang Siantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya. Pada hari itu juga, Hari Koperasi Indonesia ditetapkan dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak menggoalkan persetujuan Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.
Suasana panas waktu timbul pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948, memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.
Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dengan Perdana Menteri Moh. Natsir. Bung Hatta menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas kembali ke rumah yang berada di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.
Pada tahun
1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila
parlemen dan
konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri. Menurutnya, dalam negara yang mempunyai kabinet
parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada tanggal
20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada saat itu,
Sartono yang isinya antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."
DPR menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan surat tersebut. Kemudian, pada tanggal
23 November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama, bahwa tanggal
1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada
30 November 1956, DPR akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.
Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan
Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur
komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar doctor honouris causa dari
Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta. Sebenarnya gelar doctor honouris causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.”.